Sunday, August 27, 2006

BELAJAR DARI IKAN

Seekor ikan kerapu besar tetap diam ketika seeekor ikan selendang setrip memakan cacing parasit pada tubuhnya. Seekor remora dengan berani mendekati tubuh hiu yang menakutkan untuk melakukan tugas pembersihan. Sementara seekor udang rela berbagi sarang dengan seekor ikan belosoh. Udang yang tak mampu melihat dengan baik, dengan tekun menggali lubang untuk sarang. Sedangkan ikan belosoh teman sekamarnya akan menjaga pintu masuk sarang dan memperingatkannya jika ada musuh datang.

Betapa hebatnya hubungan yang terjalin antara ikan-ikan itu. Si ikan pembersih mendapat makanan gratis sekaligus perlindungan gratis, sementara kerapu dan hiu berterimakasih karena ada yang mau menggerogoti sel-selnya yang tidak sehat atau cacing parasit dalam tubuhnya.


Bagaimana dengan manusia? Andai kita memandang hiu atau kerapu laksana pemimpin maka ikan selendang setrip dan remora adalah rakyatnya. Tak peduli seberapa besar kekuasaanya ia masih memerlukan rakyat yang mendukungnya. Harapan ke depan seharusnya beginilah hubungan antara pemimpin dan rakyatnya, meskipun untuk saat ini kenyataannya banyak yang justru menginjak rakyatnya. Seekor udang dan ikan belosoh mewakili adalah cerminan dari hubungan baik antara yang lemah dan yang kuat. Sebagai sesama warga bangsa yang tinggal dalam satu atap yaitu NKRI seharusnya orang-orang kuat pemegang tampuk kekuasaan harusnya memberi rasa aman kepada rakyatnya.

Ah, rasanya kok muluk-muluk banget ya? Siapa pula yang sempat merenungkan ini? Hehehehee.................

Thursday, August 24, 2006

buku..buku...buku


Foto itu diambil dari salah satu sudut tempat tidurku. Berantakan, maklum yang punya malas mengembalikan ke kandangnya sehabis membaca malam-malam sebelumnya. Sebenarnya sadar sih kalau itu kebiasaan jelek tapi tiap kali that corner sepi pagi harinya, malamnya pasti kembali seperti semula.

Waktu kecil aku berharap bisa punya perpus sendiri, tetapi menyadari kalo nggak bisa akhirnya aku memuaskan diri dengan berkutat di perpus sekolah. Jaman itu pustaka klasik semacam Katak Hendak Jadi Lembu, Layar Terkembang, atau Sukreni Gadis Bali jadi bacaanku. Karl May dengan Winetou-nya adalah pengarang favoritku. Setelah mahasiswa bacaanya berubah ke arah novel pop  yang dikarang Sandra Brown, Michael Chrichton, Sidney Sheldon, Irving Wallace dan lain-lainnya. Tentu saja komik-komik Jepang juga jadi salah satu santapanku. Kini, sesuai dengan umur yang kian dewasa bacaanku pun mulai berubah kearah bacaan yang jauh lebih serius. Meskipun begitu membaca novel masih tetap jadi kesukaanku.

Sekarang, ketika aku sudah bekerja, aku mulai mewujudkan mimpi-mimpi punya perpus sendiri. Tentu saja aku harus super ketat mengawasi aliran dana supaya cukup untuk semuanya. Tetapi kadang-kadang sedih juga melihat buku yang kau taksir lewat tanpa terbeli. Maklum budget-nya terbatas, bisa nggak bisa menthok 50 ribu. Kalau nekat lebih dari itu, bobol deh keuanganku. Aku ingat saat mahasiswa aku naksir salah satu buku, namun karena harganya 150 ribu lebih aku jadi mundur teratur. Tiap kali ke Gramedia aku selalu menyempatkan berdiri di depannya sampai akhirnya buku hilang dari raknya.

Oh ya kalau kalian suka membaca sepertiku tukeran info yuk, kamu bisa email aku ke Afi_lian_9@yahoo.com. Psst... tapi bukunya jangan lebih dari 50 ribu ya. Heheheee...
By the way kalau kamu punya buku Indigo Childnya Wendy Chapman, atau Armageddon " Peperangan Akhir Jaman" karya Ir. Wisu Sasongko MT yuk kita diskusi yuk...


Sunday, August 20, 2006

Bali Blast I

seharusnya memperingati hari kemerdekaan topik bahasannya ya tentang hari kemerdekaan plus keriaannya, tapi aku kok malah ingat Bali Blast I. Aku memang takkan lupa hari itu, karena teman-teman janjian ke kuta. Biasa ke Hardrock, heheheheee... bukan kok kita cuma di depannya aja. Duduk nyantai di trotoar sepanjang pantai kuta sambil lihat manusia berbagai warna yang tumplek blek di sana menikmati malam. Tau sendiri kan gimana kuta kalau malam, ramai seperti siang. Eh sialnya nggak tahu kenapa kita nggak jadi kesana. Alhasil kita malah duduk-duduk di teras sampai malam, sambil bertanya-tanya kenapa jalan di depan kami mendadak ramai.

Paginya kami dengar orang-orang bicara tentang bom di Kuta. Kita langsung ingat semalam, wah jangan-jangan orang-orang yang lalu lalang semalam itu disebabkan oleh bom itu. Teve pun langsung dinyalakan, nggak pake nunggu lama semua orang langsung sesenggukan melihat berita yang terpampang. Menurut reporter, bom sebenarnya ada dua, satu di Renon dan satu di Kuta. Lel terhenyak, semalam ia dan Sasi lewat sana bahkan sempat prihatin melihat Renon yang indah jadi ajang pacaran muda-mudi. "Ck, klo gini di bom aja kali, " batinnya tanpa bermaksud apa-apa. Ia bersyukur karena bom tidak meledak terutama saat ia lewat, tapi sekaligus sedih karena sempat berpikir demikian.

Keadaan di Bali mendadak jadi serba tidak enak, banyak razia KTP dan KIPEM dimana-mana terutama untuk pendatang seperti kami. Jalan-jalan pun banyak yang diblokir dan harus memutar via jalan lain bila ingin kesuatu tempat. Polda Bali dan AFP pun sibuk setelah bom terjadi. Ini pula yang membuat suami Mbak Nurulita yang bekerja di Bagian Forensik Polda Bali jadi sering pulang larut.

Sasi yang sempat mampir ke Sanglah, menceritakan kalau banyak mayat-mayat di lorong-lorong RS. Sanglah. Begitu juga yang berada di tenda-tenda. Ia bahkan wanti-wanti jangan nekat kesana kalau nggak tega dan penakut, sebab kondisi disana bikin kita nggak doyan makan dan tidur nyenyak.

Kami memang bersyukur saat itu Allah tak mengijinkan kami pergi, kalau saja terjadi mungkin kami sudah celaka. Entah karena gelombang panik manusia atau kena ledakan bomnya. Bayangkan dua ratus meter dari sana kita masih bisa melihat kerusakannya. Kami melihat sendiri bagaimana mobil ice cream terkenal rusak berat meski terparkir jauh dari lokasi bom.
Menurut cerita, kepala Si Sopir tak pernah ditemukan sampai jasadnya dikuburkan. Sari Club sendiri sudah musnah, tanpa bekas. Bangunan disekitarnya rusak berat. Di Paddy's cafe beberapa botol masih berdiri di salah satu meja bersama beberapa minuman energi, sementara
kondisinya di dalamnya rusak parah. Bekas-bekas kebakaran bisa terlihat di seluruh ruangan.

Andai saja para pengebom itu pernah mendengar seorang bocah kecil berkata,"Bapak Komang di PHK, kak". Andai saja mereka sempat mendengar si Putu mengeluh, " Besok Putu nggak les lagi, kak, tempat bapak bangkrut". Andai saja mereka tahu anak-anak yang trauma jika malam tiba .Andai saja mereka ingat, bahwa merdeka berarti bebas dari rasa takut dan duka ya..Andai saja mereka pernah kembali dan melihat akibatnya, mungkin mereka merasakan kepedihan di mata mereka dan berjanji takkan mengulanginya lagi




Monday, August 7, 2006

Temanku Seorang "G.."

Sorry! Aku tak berani mengatakan "G..." itu, kurasa lebih baik kau membaca ceritaku untuk tahu artinya...

Namanya Med! Aku mengenalnya sejak kecil dan tahu betul siapa dia, sebaliknya diapun begitu. Ketika lulus SMA Med yang pintar memutuskan untuk bekerja karena ekonomi keluargana yang pas-pasan tak mengijinkannya meneruksan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

" Suatu hari aku akan kuliah, Put. Uang dari kerja akan kutabung dan akan kususul kau nanti," katanya dengan yakin sehari sebelum berangkat ke Bali.

Aku mengepalkan tanganku untuknya saat itu, memberinya semangat sebagai seorang sahabat. Lalu tahun berganti, Med tak pernah kembali sampai aku lulus dari DIII Pariwisata.
Tetapi hari itu secara tak terduga kami dipertemukan kembali. Aku cukup terkejut saat menyadari ternyata tamu yang kulayani sahabat lamaku sendiri. Iya Si Med! Tapi aku menelan kekecewaan, dia bahkan tak menoleh kepadaku. Seolah aku tak ada tiba-tiba ceplok...ia mencium bule seksi yang datang bersamanya. Jangkrik! Aku mengumpat lirih. Sejak kapan sahabat kecilku secuek itu mencium orang lain? Kemana perginya cowok alim yang suka beradzan di musholla itu? Sungguh... aku kecewa saat itu.

Setelahnya aku tak pernah bertemu Med lagi atau berharap bertemu dengannya dalam sambutan yang hangat. Namun entah bagaimana tanpa dinyana tiba-tiba Med muncul di tempat kostku.

" Hai," sapaku sambil bertanya-tanya dalam hati bagaimana ia tahu dimana aku tinggal.

"Hi, Put... Ini aku."

" Masa? Ah bukan deh... kayaknya orang lain," selorohku.

Ia tersenyum malu. "Maaf untuk hari itu ya...Aku nggak bermaksud cuek sama kamu. Tapi aku malu saat itu. Aku bukan lagi orang yang sama seperti dulu. Banyak kejadian menimpaku dan aku sudah berubah. Aku akan menceritakannya suatu hari," katanya terdengar sedih.

Aku agak kaget mendengarnya. Apa yang dimaksudkannya itu? Sayang sebelum aku sempat bertanya, tiba-tiba ponselnya berdering dan ia tergesa-gesa pergi setelah berbicara singkat dalam bahasa Perancis dengan si penelfon. Aku mengernyit. Dia bicara bahasa Perancis? Sejak kapan? Kurasa ada banyak hal yang tak kutahu tentang Med lagi...

Sejak percakapan itu Med hilang blas! Ia tak pernah muncul lagi, sampai suatu Jumat malam ia datang k tempat kostku. Untung saja aku sedang off, sehingga ada di rumah. Kalau tidak pasti kami tak bertemu.

"Yuk ikut aku, Put."

"Kemana?

"Ayolah..." ia langsung menyeretku pergi.

"Tapi aku belum ganti.."

"Nggak penting!"

Sesaat kemudian kami sampai di pantai Kuta, seperti biasa tempat ini ramai sekali. Orang-orang berseliweran disana-sini.

"Aku mau cerita, Put," katanya sembari menenggak vodka ketika kami duduk di pasir.

Aku tercengang. Lho? Kok Si Med doyan minuman model begini, padahal dulu bir saja ia tak mau. Jangankan itu rokok saja tak pernah disentuhnya.

"Maaf aku minum dulu. Kalau tidak begini aku tidak berani," katanya sambil menenggaknya sekali lagi.

"Aku gigolo, Put."

"Hah?! Aku melonjak kaget.

"Iya. Aku gigolo... Pertama datang kesini aku kerja serabutan, jadi buruh bangunan, apapun, Put, supaya dapat uang. Suatu hari datang kabar dari rumah, tumor yang dideritanya kian membesar dan harus dioperasi. Dalam kondisi bingung seorang teman yang sudah lama di bisnis ini mengajakku. Aku pusing, Put..tapi aku harus berbuat sesuatu. Dan aku melakukannya, sejak itu semua berubah," matanya berkaca-kaca. Rasa trenyuh menggugah hatiku dan bertanya mengapa ini justru terjadi pada anak sebaik dia.

"Kupikir cuma sekali dua kali kulakukan, tapi ternyata sampai hari ini aku tak berhenti. Kau tahu kan, sejak Bapak meninggal akulah yang harus bertanggung jawab pada ibu dan adik-adikku. Kulakukan ini karena inilah cara termudah cari uang besar."

Aku tak mampu berkata-kata. Aku terpaku dan terdiam disebelah Med.

" Itu sebabnya aku pura-pura tak mengenalmu saat itu. Aku malu kau melihatku dalam kondisi begitu. Dan aku mohon tolong jaga rahasia ini untukmu sendiri, jangan ceritakan apapun kepada ibuku. Biarlah beliau berpikir aku tetap sebaik dulu. Jika suatu saat kau bertemu denganku dengan tamuku lagi tolong pura-puralah tak mengenalku, Put. Anggaplah aku orang lain."
Usai ia menumpahkan perasaannya ia terdiam. Begitu juga aku. Ingin sekali aku menghiburnya tapi tak tahu harus bagaimana. Kurasa aku terlalu terkejut mendapati sahabat kecilku bekerja sebagai gi....Ah sudahlah aku tak sanggup mengatakannya.

Dan malam itu adalah malam terakhir aku bertemu Med. Med menghilang begitu saja seolah ditelan bumi. Terkadang aku sedih jika mengingatnya, tetapi cukup paham mengapa ia tak mau bertemu denganku. Kuharap ia baik-baik saja, seperti harapan seorang sahabat lama.