S-E-T-I-A.
Setia.
Harusnya sih setia itu nggak pake koma, tapi pake titik Tapi ternyata saya tak bisa melakukannya ketika segala sesuatu yang menggoda hadir di depan mata. Mengirimkan sinyal-sinyal rahasia agar saya memilikinya meski dia sudah ada yang punya. Hwoooh. Enaknyaaaaa…Bagi dooong, pengen niiih…
Gara-gara dia-lah kesetiaan yang saya canangkan gagal di tengah jalan. Gara-gara dialah keinginan saya untuk menepati janji nggak kesampaian. Padahal di buku sudah saya tuliskan kemauan saya buesar-bueesaar! Kayak gini nih :
JANJI
MENGURANGI MAKAN NASI
BANYAK-BANYAK MAKAN SAYUR
KURANGI MINUMAN MANIS
PERBANYAK MAKAN BUAH
OLAHRAGA BIAR SEHAT
SETIA DENGAN PASANGAN (HEHEHE ) JANJI DING
Lalu apa yang terjadi? Saya enggak kuat.
Saya memang sukses mengurangi makan nasi, hingga sampai taraf 5 sendok tiap kali makan. Nah lo kok gagal? Ya iyalah, wong acara ngemilnya terus jalan.
Bukan hanya itu janji untuk makan banyak sayur pun gagal karena kecuekan saya.
Soal minuman manis saya memang berhasil karena basicnya saya enggak terlalu suka yang manis-manis
La olahraga? Walah…lebih sering kelewatan timbang dilakukan. Sudah janji dalam hati tiap hari mo lari pagi, eh malasnya nggak bisa diampuni. Dan terakhir, ujian setia pada janji gak pernah ditepati!
Lalu apa yang terjadi kemudian? Cuek bebek! Meski berat badan tetep nangkring di angka 53 enggak turun-turun juga.
“ Wiiiii…ini belut apa ular sih?” cetus Raka a.k.a Sukri, my younger bro, dengan sadisnya.
“ Aduuh, Fin, kamu gendut banget siiiy!” cetus kawan saya tanpa basa-basi.
Tapi begitu berat badan turun jadi 45 saja, apa yang terjadi?
“ Kamu tuh bagusan berisi kayak kemarin dulu,” ucap teman saya yang lain lagi begitu melihat lemak yang berseliweran di perut dan pipi jauh berkurang.
“ Kamu kurus banget sih?” komentar lainnya lagi.
LHO PIYE TO IKI? Gemuk salah! Kurus apalagi! Mestinya gimana, Bu?
Sekarang gimana? Biasa aja. Saya nggak diet apapun juga. Biarin dah. Makanya saya kaget waktu ada yang bilang ,” kok badanmu lebih langsing ya?”
Hehehehe langsing apa langsung nih? Iih kalo bener langsung jadi ge-er nih…
Untuk orang-orang yang tengah menurunkan berat badan selamat sampai tujuan deh! Peganglah kesetiaan itu sob, karena setia itu nggak pake koma tapi pake titik. Kuatlah berpegang teguh untuk menggenggam erat nafsu makan yang menggila karena terpesona oleh tampilan muka, bau, dan rasanya .
“ Lihat nih, orang-orang perutnya six pack…lha kita ? One pack, “ kata Wendy dan Sukri mamerin perut endutnya pas lagi di rumah.
Bwahahahahaha! Saya, ibu dan babe ketawa berderai-derai karenanya.
all picture belongs to : www.resepkita.com
Monday, March 31, 2008
Monday, March 24, 2008
Ketika Cinta Menyapa
Aku ingin memilikimu
Tetapi Allah menciptakan jarak untukmu dan aku
Aku ingin mendekatmu
Tetapi Allah menjauhkan jangkauanku darimu
Aku ingin menatapmu
Tetapi Allah menghendaki agar kujaga pandanganku darimu
Manakala pagi tiba itu adalah surga
Karena suaramu bergema di telinga
Membangunkaku untuk segera menghadap Empunya dunia
Semakin hari kusadari kau rasuki sisi-sisi terdalam hatiku
Hingga tak henti aku memikirkanmu
“ Janganlah engkau merindukan sesuatu secara berlebihan karena yang demikian itu akan menyebabkan kegelisahan yang tak pernah padam,” begitulah Aidh Al-Qarni mengatakan
Maka benarlah apa yang ia tuliskan dalam La Tahzan
Karena terasa benar ia gambarkan keresahan yang bersemayam
Ya Rabb, jangan palingkan aku dari-Mu atas cinta yang mengharu biru
Andaikan ini cobaan lapangkan aku atas bimbang rasaku
Leburkan galau atas cinta di setiap sujudku
Sebab telah jelas Engkau bertitah,
“ Walaupun kamu membelanjakan semua kekayaan yang berada di bumi, niscaya kamu tak dapat mempersatukan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Done, 06.11, 250308
Inspired by
LuF and his Angel
Ditemani La Tahzan dan Ost Ayat-ayat Cinta ( namun harus kutinggalkan cinta ketika ku bersujud)
Sunday, March 16, 2008
WHERE ARE YOU, WHERE ARE YOU
Aku kehilangan jejakmu
Selepas membicarakan surat Ad Dhuha
Mendadak kau hilang tanpa berita
Apa yang terjadi denganmu?
Aku harap kamu baik-baik saja, kawan
Dan tidak sedang kolaps karena kalah melawan sugesti yang terlanjur mengakar
pada sang durjana yang membuatmu terkapar dan menggoreskan bekas suntikan
ditanganmu yang terpeta nyata?
Atau jangan-jangan kau tengah berperang dengan diri dan hatimu sendiri tentang
sebuah tes yang kau risaukan, yang belum kau putuskan akan kau lakukan atau tidak hingga sekarang?
Semoga engkau baik-baik saja
Tak sedang mengalami apa yang melayang di otakku sekarang
Semoga engkau berbahagia
Bercengkerama dengan sahabat dan keluarga tercinta
Done, 06.23 march 16,2008
Friday, March 7, 2008
PERTEMUAN
Kalia
Begitu saja. Ia datang tanpa tanda dan melompat kepadaku via Yahoo Messenger dengan pertanyaan aneh yang berbunyi ,”Apa kamu ODHA?”
ODHA? Aku? Kurang ajar nih orang, pikirku. Siapa sih dia? Berani-beraninya dia memberi pertanyaan seperti itu pada orang asing yang tak dikenalnya. Harusnya dia belajar sopan santun dulu sebelum bertanya.
“ Enggak! Siapa yang ODHA?” semburku kesal.
“ Aku baca tulisanmu tentang bagaimana seorang pengidap HIV menjalani hari-harinya di blogmu. Dari caramu menulis aku mengira kalau itu kisahmu.”
“ Yang mana?”
“ Aku lupa judulnya, tapi kayaknya ditulis pas hari AIDS sedunia.”
Kemarahanku mencair. “ Oalah…itu cerpen. Aku dapat ide nulis itu setelah dengar cerita temanku tentang pengidap HIV yang ditangani suaminya. Itu saja.”
“ Ups! I thought…”
“ Nevermind, its ok.”
“ So sorry…Kau sendiri seberapa jauh kamu mengenal HIV?”
“ Ah hanya sekedar, berdasarkan apa yang bisa aku dapatkan via internet, teve, buku atau cerita teman.”
“ Oh, kupikir kamu tahu banyak.”
“ …Kenapa kamu tanya-tanya soal ODHA segala? Jangan-jangan kamu yang ODHA?” tanyaku asal.
Sesaat tak ada jawaban, lalu ,“ Jika ya, bagaimana? Apa kamu tetap mau ngobrol denganku?”
Bercanda dia, kurasa ia tak sungguh-sungguh, batinku dengn tawa.“ Lha memangnya kenapa? Apa susahnya bicara denganmu?” begitu balasku sembarangan.
“ Sungguh? Meski tujuh puluh lima persen aku ini ODHA?”
Aku tercengang. Aduh, batinku enggan, sementara sebelah lainnya merasa tertantang dan berkata ,” kok segitu takutnya? Andai benar ia ODHA, memangnya kamu bisa tertular olehnya dari sebuah obrolan dunia maya? Bodoh!”
“ Kenapa? Kaget?”
“ Banget. Tapi, masa sih?”
“ …”
“ Kok kamu bisa menduga kamu kena? Kenapa? Apa jangan-jangan kamu…”
“ Free sex maksudnya? …”
Shit! Pikiranku terbaca olehnya.
“ Bukan, bukan begitu ,” aku berbohong, meski sejujurnya memang itu yang ingin kukatakan.
“ Aku ex-user…”
“ Oh...” Aku tercenung, dengan setengah tak enak aku bertanya ,”boleh aku tanya sesuatu? Tapi jika kamu tak mau menjawab juga nggak pa-pa.”
“ Tanya aja.”
“ Keluargamu, apa mereka sudah tahu?”
Di luar dugaan ia menjawab ,“ Belum, kecuali ibuku….”
What would I do if I am his mom? Aku geleng-geleng kepala sendirian.
“ Apa ibumu nggak pa-pa?”
“ …Aku rasa nggak mudah bagi orang tua manapun mendengar pengakuan anaknya kalo kemungkinan ia besar mengidap HIV. Begitu juga dengan ibuku, beliau kaget, tapi kemudian bisa menerimannya…”
What a great mom he has! I wish your mom is mine. Tiba-tiba saja mataku berkaca-kaca. Kamu harus bersyukur kawan, bisikku sendirian sambil membayangkan jika mamaku yang menerima berita itu. Aku yakin beliau akan menghadiahiku dengan seribu hujatan lalu menendangku keluar.
“ Jika dengan keluargamu saja kamu tak berterus terang, kenapa kamu bisa seterus terang ini padaku?” kejarku
Sepi. Beberapa saat lamanya kesunyian menguasai.
“ Mungkin karena kamu orang asing, lebih mudah bagiku bicara ketika aku tak mengenalmu sama sekali, ketika aku tak harus menatapmu saat mengatakan kemungkinan aku ini pengidap HIV.”
“ Maksudmu, kamu akan lebih bisa menghadapi penolakan seseorang karena kamu nggak pernah kenal dan nggak pernah ketemu muka dengannya?”
“ Kira-kira begitu.”
“ Tapi ODHA pun baru dugaan kan...Bagaimana kamu tahu kalo kamu mengidap HIV kalau kamu tak pernah melakukan tes.”
“ Kamu tahu nggak? Sembilan puluh lima persen orang terkena HIV karena penggunaan suntikan secara bersama-sama sementara yang lewat hubungan seks itu hanya lima persen, dan aku adalah pengguna napza suntik alias IDUs, jadi kemungkinan besar aku juga kena.”
“ IDUs?”
“ Injection Drug Users.”
“ Well, okelah. Dengan persentase tertular yang sedemikian besar kemungkinanmu untuk terkena HIV juga besar. Tapi tetap saja kamu takkan positif tidaknya kan?”
Hening datang kembali. Beberapa saat lamanya pria asing itu diam tanpa jawaban pertanyaanku, lalu ,
“ Kamu benar, tapi ada ketakutan tersendiri untuk melakukannya.”
“ Takut kalau-kalau dugaanmu benar?”
“ Iya, aku rasa aku belum siap mental menerima kenyataan itu. “
Kembali sepi melayang diantara kami, untuk yang ketiga kalinya. Diam-diam aku merasa terlalu memaksanya dengan seluruh rasa penasaranku.
“ Maafkan aku, kurasa aku terlalu lancang bertanya-tanya begitu.”
“ It’s ok.”
“ Andai saja waktu bisa diputar kembali…”
“ Andai waktu bisa diputar kembali, aku akan meminta untuk tak pernah bersentuhan dengan narkoba. Tapi penyesalan selalu datang belakangan, semua sudah terjadi saat kusadari.”
Deg! Aku merasa tertohok dengan kalimat terakhirnya. Penyesalan selalu datang belakangan dan semua sudah terjadi saat kusadari, ulangku dalam hati.
Tiba-tiba bayangan Nanda dengan seringai tajamnya melintas. Rasa benci dan sekaligus takut menyerbu menjadi satu, mengulik kembali rasa sakit dihatiku.
“ Kalia?”
“ Kalia?”
“ Hai, Kalia…kamu kemana?”
Mataku kembali fokus ke layar. Kususut airmata yang sempat turun.
“ Hai, ada apa?”
“ Aku off dulu.”
“ He-eh. Aku juga mo off.”
“ Ok.”
“ Cu.”
“ Cu 2.”
Percakapan terhenti. Pria asing itu pergi berbarengan dengan masuknya sms Nanda.
Jemput aku di Barong’s. Sekarang!
Sender : Nanda
+628136679xxx
Sent
23:04:26
02-01-2006
Hujan semakin deras di luar, membawa hawa dingin masuk ke sela-sela jendela. Dengan sinis ku buang sms itu ke tong sampah. Kemana mobil mewah kebanggaanmu? Mogok? Kehabisan bensin? Maaf, aku bukan sopirmu yang bisa kau suruh-suruh seenaknya apalagi di saat cuaca seperti ini. Kurasa kau bisa naik taksi.
Rayyan
Dia terlalu ingin tahu ingin tahu, batinku ketika blogger bernama Kalia Mirza itu telah pergi. Aku pikir ia akan berlalu seusai mengetahui pernyataanku bahwa kemungkinan besar aku mengidap HIV, ternyata tidak. Dengan lancar dan terus terang ia malah menyodorkan berbagai pertanyaan yang bisaanya takkan dilakukan oleh orang yang baru kenal kepadaku. Tapi bukankah tadi aku juga begitu? Tanpa tedeng aling-aling langsung saja aku menanyakan apakah dia ODHA.
“…Kenapa kamu tanya-tanya soal ODHA segala? Jangan-jangan kamu yang ODHA?”
Kalimat tanya yang terlontar asal itu membuatku gelagapan. Aku harus berhenti sejenak untuk menimbang seperti apa jawaban yang akan aku suguhkan padanya.
“ Lha memangnya kenapa? Apa susahnya bicara denganmu?”
Hanya satu tanyaku atasnya ,” Masihkah ia mampu mengatakan hal yang sama jika pernyataan ‘ tujuh puluh lima persen aku adalah ODHA’ kukatakan di dunia nyata dimana aku dan dia bertemu muka?”
Kurasa hanya ada dua jawaban yang sama-sama buruknya: satu, ia akan pura-pura tak apa-apa walau di belakang meludah, dan dua, ia segera melesat tanpa menoleh ke belakang.
Kalia…Aku ingin tahu kamu golongan mana. Let’s see, then…
next, to be continued to part 2 " TITIK BALIK"
thanks to LuF, a friend who came and help me t answer a lot of question of mine.
Afin's@copyrights
Begitu saja. Ia datang tanpa tanda dan melompat kepadaku via Yahoo Messenger dengan pertanyaan aneh yang berbunyi ,”Apa kamu ODHA?”
ODHA? Aku? Kurang ajar nih orang, pikirku. Siapa sih dia? Berani-beraninya dia memberi pertanyaan seperti itu pada orang asing yang tak dikenalnya. Harusnya dia belajar sopan santun dulu sebelum bertanya.
“ Enggak! Siapa yang ODHA?” semburku kesal.
“ Aku baca tulisanmu tentang bagaimana seorang pengidap HIV menjalani hari-harinya di blogmu. Dari caramu menulis aku mengira kalau itu kisahmu.”
“ Yang mana?”
“ Aku lupa judulnya, tapi kayaknya ditulis pas hari AIDS sedunia.”
Kemarahanku mencair. “ Oalah…itu cerpen. Aku dapat ide nulis itu setelah dengar cerita temanku tentang pengidap HIV yang ditangani suaminya. Itu saja.”
“ Ups! I thought…”
“ Nevermind, its ok.”
“ So sorry…Kau sendiri seberapa jauh kamu mengenal HIV?”
“ Ah hanya sekedar, berdasarkan apa yang bisa aku dapatkan via internet, teve, buku atau cerita teman.”
“ Oh, kupikir kamu tahu banyak.”
“ …Kenapa kamu tanya-tanya soal ODHA segala? Jangan-jangan kamu yang ODHA?” tanyaku asal.
Sesaat tak ada jawaban, lalu ,“ Jika ya, bagaimana? Apa kamu tetap mau ngobrol denganku?”
Bercanda dia, kurasa ia tak sungguh-sungguh, batinku dengn tawa.“ Lha memangnya kenapa? Apa susahnya bicara denganmu?” begitu balasku sembarangan.
“ Sungguh? Meski tujuh puluh lima persen aku ini ODHA?”
Aku tercengang. Aduh, batinku enggan, sementara sebelah lainnya merasa tertantang dan berkata ,” kok segitu takutnya? Andai benar ia ODHA, memangnya kamu bisa tertular olehnya dari sebuah obrolan dunia maya? Bodoh!”
“ Kenapa? Kaget?”
“ Banget. Tapi, masa sih?”
“ …”
“ Kok kamu bisa menduga kamu kena? Kenapa? Apa jangan-jangan kamu…”
“ Free sex maksudnya? …”
Shit! Pikiranku terbaca olehnya.
“ Bukan, bukan begitu ,” aku berbohong, meski sejujurnya memang itu yang ingin kukatakan.
“ Aku ex-user…”
“ Oh...” Aku tercenung, dengan setengah tak enak aku bertanya ,”boleh aku tanya sesuatu? Tapi jika kamu tak mau menjawab juga nggak pa-pa.”
“ Tanya aja.”
“ Keluargamu, apa mereka sudah tahu?”
Di luar dugaan ia menjawab ,“ Belum, kecuali ibuku….”
What would I do if I am his mom? Aku geleng-geleng kepala sendirian.
“ Apa ibumu nggak pa-pa?”
“ …Aku rasa nggak mudah bagi orang tua manapun mendengar pengakuan anaknya kalo kemungkinan ia besar mengidap HIV. Begitu juga dengan ibuku, beliau kaget, tapi kemudian bisa menerimannya…”
What a great mom he has! I wish your mom is mine. Tiba-tiba saja mataku berkaca-kaca. Kamu harus bersyukur kawan, bisikku sendirian sambil membayangkan jika mamaku yang menerima berita itu. Aku yakin beliau akan menghadiahiku dengan seribu hujatan lalu menendangku keluar.
“ Jika dengan keluargamu saja kamu tak berterus terang, kenapa kamu bisa seterus terang ini padaku?” kejarku
Sepi. Beberapa saat lamanya kesunyian menguasai.
“ Mungkin karena kamu orang asing, lebih mudah bagiku bicara ketika aku tak mengenalmu sama sekali, ketika aku tak harus menatapmu saat mengatakan kemungkinan aku ini pengidap HIV.”
“ Maksudmu, kamu akan lebih bisa menghadapi penolakan seseorang karena kamu nggak pernah kenal dan nggak pernah ketemu muka dengannya?”
“ Kira-kira begitu.”
“ Tapi ODHA pun baru dugaan kan...Bagaimana kamu tahu kalo kamu mengidap HIV kalau kamu tak pernah melakukan tes.”
“ Kamu tahu nggak? Sembilan puluh lima persen orang terkena HIV karena penggunaan suntikan secara bersama-sama sementara yang lewat hubungan seks itu hanya lima persen, dan aku adalah pengguna napza suntik alias IDUs, jadi kemungkinan besar aku juga kena.”
“ IDUs?”
“ Injection Drug Users.”
“ Well, okelah. Dengan persentase tertular yang sedemikian besar kemungkinanmu untuk terkena HIV juga besar. Tapi tetap saja kamu takkan positif tidaknya kan?”
Hening datang kembali. Beberapa saat lamanya pria asing itu diam tanpa jawaban pertanyaanku, lalu ,
“ Kamu benar, tapi ada ketakutan tersendiri untuk melakukannya.”
“ Takut kalau-kalau dugaanmu benar?”
“ Iya, aku rasa aku belum siap mental menerima kenyataan itu. “
Kembali sepi melayang diantara kami, untuk yang ketiga kalinya. Diam-diam aku merasa terlalu memaksanya dengan seluruh rasa penasaranku.
“ Maafkan aku, kurasa aku terlalu lancang bertanya-tanya begitu.”
“ It’s ok.”
“ Andai saja waktu bisa diputar kembali…”
“ Andai waktu bisa diputar kembali, aku akan meminta untuk tak pernah bersentuhan dengan narkoba. Tapi penyesalan selalu datang belakangan, semua sudah terjadi saat kusadari.”
Deg! Aku merasa tertohok dengan kalimat terakhirnya. Penyesalan selalu datang belakangan dan semua sudah terjadi saat kusadari, ulangku dalam hati.
Tiba-tiba bayangan Nanda dengan seringai tajamnya melintas. Rasa benci dan sekaligus takut menyerbu menjadi satu, mengulik kembali rasa sakit dihatiku.
“ Kalia?”
“ Kalia?”
“ Hai, Kalia…kamu kemana?”
Mataku kembali fokus ke layar. Kususut airmata yang sempat turun.
“ Hai, ada apa?”
“ Aku off dulu.”
“ He-eh. Aku juga mo off.”
“ Ok.”
“ Cu.”
“ Cu 2.”
Percakapan terhenti. Pria asing itu pergi berbarengan dengan masuknya sms Nanda.
Jemput aku di Barong’s. Sekarang!
Sender : Nanda
+628136679xxx
Sent
23:04:26
02-01-2006
Hujan semakin deras di luar, membawa hawa dingin masuk ke sela-sela jendela. Dengan sinis ku buang sms itu ke tong sampah. Kemana mobil mewah kebanggaanmu? Mogok? Kehabisan bensin? Maaf, aku bukan sopirmu yang bisa kau suruh-suruh seenaknya apalagi di saat cuaca seperti ini. Kurasa kau bisa naik taksi.
Rayyan
Dia terlalu ingin tahu ingin tahu, batinku ketika blogger bernama Kalia Mirza itu telah pergi. Aku pikir ia akan berlalu seusai mengetahui pernyataanku bahwa kemungkinan besar aku mengidap HIV, ternyata tidak. Dengan lancar dan terus terang ia malah menyodorkan berbagai pertanyaan yang bisaanya takkan dilakukan oleh orang yang baru kenal kepadaku. Tapi bukankah tadi aku juga begitu? Tanpa tedeng aling-aling langsung saja aku menanyakan apakah dia ODHA.
“…Kenapa kamu tanya-tanya soal ODHA segala? Jangan-jangan kamu yang ODHA?”
Kalimat tanya yang terlontar asal itu membuatku gelagapan. Aku harus berhenti sejenak untuk menimbang seperti apa jawaban yang akan aku suguhkan padanya.
“ Lha memangnya kenapa? Apa susahnya bicara denganmu?”
Hanya satu tanyaku atasnya ,” Masihkah ia mampu mengatakan hal yang sama jika pernyataan ‘ tujuh puluh lima persen aku adalah ODHA’ kukatakan di dunia nyata dimana aku dan dia bertemu muka?”
Kurasa hanya ada dua jawaban yang sama-sama buruknya: satu, ia akan pura-pura tak apa-apa walau di belakang meludah, dan dua, ia segera melesat tanpa menoleh ke belakang.
Kalia…Aku ingin tahu kamu golongan mana. Let’s see, then…
next, to be continued to part 2 " TITIK BALIK"
thanks to LuF, a friend who came and help me t answer a lot of question of mine.
Afin's@copyrights
Subscribe to:
Posts (Atom)