Tumben kau lama duduk di situ. Seingatku kau jarang berlama-lama jika bertandang di tempatku. Selalu ada acara yang lebih penting ketimbang denganku. Maka tak heran jika kau buru-buru berlalu setelah berbicara dan mengutarakan maksudmu.
Apa ada yang ingin kau tanyakan padaku, sampai kau rela bersimpuh menungguku? Mari masuk kemari. Jangan ragu, aku selalu ada waktu untukmu meski jadwalku penuh dan banyak masalah yang harus kubereskan dalam tugasku sebagai CEO nomer satu.
“ Apa nikmat itu?” tanyamu.
Lho jadi kau tak tahu apa nikmat itu pejalan jauh? Bukankah sepanjang jalan hidupmu telah kau rasakan itu? Tapi baiklah jika kau tak tahu aku tak segan memberitahumu.
Ruangan meredup, di hadapan terpampang gambar seorang pria tengah makan. Ia terperangah, berbalik kearahku dan bertanya ,” Lho itu aku. Bagaimana Kau tahu?”
Aku tertawa geli melihat keheranan Pejalan Jauh. Aku ini CEO nomer satu, tak ada yang tak mungkin bagiku. Jika seluruh semesta tunduk padaku, hanya mengetahui peristiwa sekecil ini apa susahku?
“ Sebentar, aku heran bagaimana gambarku ini bisa kau putar dengan menjentikkan jari seperti yang Kau lakukan bahkan tanpa layar?” ia meraba si gambar yang nongol tanpa layar. Ia terheran-heran, penuh kekaguman.
“ Bagaimana bisa? Canggih betul ya? Bahkan tidak perlu pake remot seperti kebanyakan,” ia mengernyit mendekati gambar yang berputar. “ Wuuh hebat!”
Lho ya jelas hebat! Akuu…gimana sih kamu? Apa kamu tahu, teknologi paling canggih yang kalian kenal masa kini tak ada seperempatnya dibanding teknologiku. Bahkan pengetahuan yang kata kalian nomer satu tak ada apa-apanya bagiku. Bagaikan setitik air di lautan, begitu kalian mengibaratkan. Ah, sudah. Berhenti dulu mengagumi teknologi canggih punyaku, mari kembali kepada tujuan semula. Menjawab tanyamu nikmat itu apa.
Cerita kembali berputar, mengetengahkan kisah sang pejalan jauh, sang tokoh utama.
“ Kenapa Kau pertontonkan aku soal makanan? Aku kan bertanya tentang kenikmatan.”
“ Kisah ini masih panjang, Kawan. Teruslah melihat dan kau akan dapat jawaban.”
Ia diam, kembali menikmati kisah yang tengah berjalan. Di akhir cerita, aku bertanya ,” Apa yang kau dapat darinya?”
Ia tersipu-sipu dan berkata ,” Aku jadi malu tak pernah mengakui bahwa dalam hidupku dipenuhi kenikmatan. Makanan yang kumakan takkan enak kurasakan ketika aku tak enak badan. Benar-benar aku ini kurang ajar, sudah diberi kesehatan tapi jarang berterima kasih dan justru menggerutu.”
Aku tertawa. Dengan bercanda kujentikkan jari dan kuperlihatkan saat ia merepet panjang pendek, mengumpati-Ku suatu waktu.
“ Kau ingat itu?”
“ Iya.”
“ Kenapa tuh?”
“ Aku ketinggalan pesawat waktu itu, kehilangan pula klien kelas satu. Ponsel hilang entah dimana, dan kecurian uang juga. Ah! Benar-benar hari yang menyebalkan.”
“ Apa kamu tahu apa maksudku?”
Ia menggeleng.
Gambar kembali berputar. Nampak sebuah pesawat meledak, membuat 120-an orang kehilangan nyawa dalam sekejap.
“ Jadi itu maksudnya? Andai saja peristiwa kecurian uang dan ponsel itu tak ada, aku pasti langsung berangkat dengan pesawat pertama dan bisa jadi aku jadi korbannya kan?”
“ Kau ingat ini?” tanyaku lagi.
Ia mengangguk.
“ Iya. Aku lagi kesal sama bosku yang sialan. Ups, iya dilarang ngomong kotor ya? Tapi benar loh, aku jengkel padanya sampai aku mengumpati-Mu segala.”
“ Apa kau ingat ini juga?”
“ Iya. Aku bilang aku ingin kaya. Enak banget kelihatannya. Ndak susah…”
“ Dan ternyata?”
“ Ealah…ndak juga. Tak pikir setelah punya segalanya di usiaku yang masih tiga puluhan sekian (boleh dong berahasia?) aku bisa ongkang-ongkang setelahnya. Ternyata ndak juga. Malah keseret pekerjaan, nggak pernah punya waktu luang.”
“ Bahkan lupa padaku juga, kan? Paling kalau ingatpun kalau kamu sedang butuh teman curhat, abis cerita panjang lebar lalu minggat.”
“ Iya, ya. Benar-benar aku ini mahkluk bejat!”
“ Wooh, kamu yang ngomong sendiri lo. Aku ndak ikutan.”
Ia tertawa, ada malu nampak di matanya.
“ Bahkan baca email-emailku saja kamu jarang. Palingan juga pas Ramadhan, itupun buyar kalo kesibukan menggodamu.”
“ He-eh. Aku memang jarang baca email-email-Mu. Saking lamanya tak menyentuhnya, sampai aku blekak-blekuk membacanya.”
“ Gimana nggak blekak-blekuk wong kamu ndak membiasakan membaca. Bacalah, disana ada banyak pelajaran yang bisa kau timba. Tentu saja kalau kau mau bertanya-tanya juga pada ahlinya. Anggap seperti main gitar saja, semakin kau sering memainkannya, tak berhenti belajar, kau semakin hebat kan?”
“ Iya. Tapi ngomong-ngomong soal gitar, aku sekarang juga jarang nyentuh dia. Kesibukan membuatku harus berkelana sementara ia di rumah, anteng dalam kandangnya.”
“ Hahaha, ingat kata pepatah jawa lamun ana bandha sira tentu ngreksa, lamun tambah akeh tambah ngrekasa artinya kalau ada harta tentu kamu mencarinya, tetapi semakin banyak kamu tambah sengsara. Gimana enggak kalau kamu jadi kepikiran, uh gimana nyimpan harga segitu banyaknya, disimpan di rumah takut kemalingan , disimpan di bank takut bank-nya kolaps. Dan masih banyak gimana lagi yang bikin pusing kepala, bukannya malah lega setelah kamu punya banyak harta segunung tingginya.”
“ Hehehe, tahu saja…”
Lho wong aku. CEO nomer satu. Ya jelas tau hal-hal semacam itu.
“ Lah terus gimana dengan Cah Ayu itu? Bukankah waktu kamu putus dengannya mulutmu maju persis kayak orang baru ngemut gardu? Masih juga marah-marah karena itu?”
“ Hiyaaa! Engkau membuatku malu saja, ah. Sudah tidak.”
“ Ck, gitu dulu uring-uringan melulu sampai-sampai malas menemui-Ku. Menganggap-Ku jahat dan tak adil karena menghalangimu. Ada sesuatu di balik itu, Kawanku. Hanya saja Aku ingin kau mengetahui jawabannya sendiri.”
“ Iya. Maaf aku suka negative thinking pada-Mu.”
“ Oke.”
“ Aku pamitan dulu.”
Hati-hati, Sob. Semoga Nur-Ku tersampai pada-Mu. Melingkupimu, menyentuh hatimu, menjadikan kau seseorang yang mulia. Berilmu, berharta tapi tak pernah lupa bersyukur pada Penciptanya. Lembut dalam bersikap dan bertutur kata, tidak kardi (karepe dibi’) alias sak enak udele dhewe seperti dulu kala.
Sampai di pintu ia berhenti. Tersipu-sipu, tapi tertawa juga saat melihatku.
“ Kenapa?”
“ Aku malu dengar murattal itu. Fabi-ayyi aalaaa-i robbikuma tukadzdzibaan…Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?”
Aku tersenyum. Semoga Ar-Rahman memberimu keberkahan. Selalu teringat berapa banyak nikmat yang telah Ku berikan, Kawan. Menjadikanmu bijak dalam bahagia atau kesengsaraan.
A story, done May 23, 2009; 04:23
Thanks to Murattal Syeikh Musya’ari Rasyid (Ar-Rahman ayat 1-78)