![fathers day flower wish wallpaper](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhx_pHlDdXdYYLRXMTPsjLXMqnz1zapGp8ACeQr452OWF8jH6TN5iOPSSLbwxTxgYf4HRxzlu2i3Cw0QljJx6dcSXPBUYfHbW3RjWPKCX7OY1wovj_XKjQuGtQahoev-lycnR6XGzxQcCE/s320/fathers-day-flower-wish-wallpaper.jpg)
![Fathers Day Flower Wallpapers](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjj4yaasmIp9ezLGfbmsbT9-6hjUOe-PstvRBPSDT_UVnDyWMBqgTJGkRPFkA5ZGwhjaa6h58LjRq59FQF0D1Tl9Ar0SUm4ZEuklSm4yiJv0UhBTngj4nThyphenhypheneGpHh6YkXSq-Z2TWAqNuBg/s320/Fathers-Day-Flower-Wallpapers.jpg)
![fathers day flower background](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6M8YZllvqelmaDl9RDnyNahavSJpaog3-87gUjd1nZYhpunzbW9vu4IZ4eBHuA3TfDKfFBOJrYqh4TOuERbLULGM7AiWIT-wn9Cx8hz78pLjlvYAsmgkidx9hMsz6fk562uTL95wLzmM/s320/fathers-day-flower-background.jpg)
Sejak bertemu denganmu aku merasakan sesuatu yang berbeda. Pikiran bebasmu menyeretku ke satu dunia yang tak pernah kumasuki sebelumnya. Dunia penuh mimpi, dunia yang kuabaikan selama ini.
“ Bermimpilah karena mimpi tidak bayar. Untuk apa takut bermimpi, apa kau tahu banyak hal hebat di dunia ini berawal dari mimpi,” katamu seolah percikan api yang membakar hasrat diri.
Begitukah? Bagaimana jika aku kehilangan segala kenyamanan yang kupunya hanya untuk mengejar sebuah mimpi yang belum pasti? Inilah hidupku, ini pilihanku. Sesuatu yang memang kusukai sejak dulu.
“ Benarkah itu?” ucapmu sambil menuang air panas dalam gelas berisi bubuk kopi. “ Jika kau suka mengapa kau selalu mengeluh? Tak pernah kulihat kau merdeka di dalamnya.”
Diam tak bisa berkata-kata. Kutekuri tanah di bawah kakiku. Mengiyakan dalam hati ucapnya itu.
Kau benar. Aku tak merdeka. Aku sudah lupa apa arti merdeka. Orang lain melihatku tampak bahagia, sesungguhnya tidak di dalam sana. Tapi aku selalu menepiskan segala haru biru rasanya. Melaju mengikuti alur jadi di depanku dan melupakan mimpi-mimpi masa kecilku. Tentang terbang mengangkasa ke sekujur dunia, seperti yang sering kugambarkan gumaman dan cerita. Kemana? Kemana keberanianku? Kemana hilangnya gadis kecil yang bermimpi menuliskan kisah perjalanannya sendiri?
Seolah sangkar maya, segala yang mereka katakan tentang hidup menjadi belenggu. Kau harus begini, kau harus begitu. Tak bisa tentukan sendiri langkahku. Setiap kali aku meneguhkan diri mengikuti jalanku, mereka mengingatkanku untuk kembali pada jalan utama yang harusnya kulalui. Jalanan yang dipenuhi batas-batas kaku bernama rutinitas dan kebiasaan hingga akhirnya aku jadi terlampau takut terbang demi demi mewujudkan impian. Dihantui bayang-bayang kegagalan, kepak sayapku selalu terhenti sebelum mencapai batas.
“ Hidup itu bukan sebuah kenyamanan. Jika hanya itu yang kau inginkan. Sesungguhnya kau telah mati di dunia yang penuh warna ini.” Ujarmu sambil tertawa kecil. Seperti denting lonceng, renyahnya mengalun di udara.
“Kau harus menebas hutan, rasakan desir angin, lolong anjing, dan harum pohon pinus. Menyentuh embun yang menetes di daunan. Pergi melintasi pucuk-pucuk cemara untuk mencium kabut senja pun gerimis renyai yang melingkupinya. Rasakanlah! Dunia itu penuh tantangan, dibalik itu banyak keindahan. Bukalah matamu lebar-lebar,” lanjutmu tak memperhatikan keruh wajahku.
Aku benci mendengar ucapmu. Seolah kau tahu saja apa hidup itu. Sejurus kemudian aku meluncur pergi, meninggalkan tanganmu mengulurkan secangkir kopi harum wangi padaku dalam kesia-siaan. Melihat tingkahku, tawa geli melejit dari tenggorokanmu. Mengejekku. Bahkan ketika aku merangkai serapah untuk menangkis hal itu.
“ Pikirkan kata-kataku!” serumu dalam kekeh kecilmu.
Seminggu, dua minggu aku menjauhimu. Melengos dan mengambil jalan lain tiap melihatmu. Sedangkan kau tak sedikitpun terusik atas tingkah kekanak-kanakanku. Anehnya tanpa bisa kutepiskan kata-katamu terus berdentam. Seperti genderang perang yang kerap dimainkan untuk membangkitkan semangat juang, aku sulit mengabaikannya. Alih-alih rasa marah, sebuah semangat baru merayap, menyaluti hatiku dengan caranya sendiri.
Maka sejak itu aku merasa ada sesuatu yang bergolak dalam dadaku. Saat berbincang denganmu selalu kunantikan. Meski untuk itu aku harus mencuri waktu ditengah kesibukan. Sejak itu pula nama dan wajahmu beterbangan bak kunang-kunang di kegelapan. Amat indah, berpendar-pendar dalam pandangan. Setiap kali mengingatmu kehangatan mengaliriku.
Sering aku bertanya apa nama geletar asing yang menyusupi jiwaku, hingga seekor belalang terkekeh-kekeh dan mengatakan ,” Kau sedang jatuh cinta, atau setidaknya demikian yang kau rasa.”
Oh ya? Aku tak percaya. Belalang bijak itu berkata kembali ,” Jika kau merasa kehilangan jika ia tak ada. Mendadak kau jadi punya keberanian menatap dunia sejak ia ada dan merasa nyaman bila di dekatnya maka aku bisa pastikan kau jatuh cinta.”
Nyanyian tempias hujan diatas dedaunan dan ranting menyuarakan kegembiraan perasaan. Ditingkahi suara kodok yang memainkan nada-nada riang, kurasakan hatiku mengembang. Ya, Tuhan…kupikir aku takkan menemukan seseroang yang melumpuhkan hatiku. Ternyata aku salah, inilah dia, desisku bahagia.
Syalalalala! Aku bernyanyi gembira. Sebelum akhirnya kenyataan mementahkan rasa. Kau pergi ketika aku merasa aku telah menemukan tempat bergantung yang sempurna. Yang bisa membawaku mengarungi mimpi-mimpiku. Pun mendorongku di saat aku tak mampu.
Banyak pertanyaan “mengapa?” mengabut dan menyesak di kepala. Melelehkan tangis yang mengaliri lembah-lembah di wajahku, menjatuhi daun berserak di bawah kakiku. Menyesali kepergianmu dan berharap kau kembali untuk membawaku.
Musim berlalu. Aku tak tahu kabar beritamu. Kekeraskepalaan membuatku menunggumu hingga seekor anjing hutan bertanya padaku ,” Apa yang kau tunggu sejak awal musim gugur lalu?”
Diamku sebagai jawaban. Sang anjing hutan tersenyum penuh pengertian. Ia tengadahkan muka. Mengendus sesuatu di udara lalu berkata seolah tahu,” Ia terlampau jauh kini...jangan lagi kau tunggu.”
Aku mengacuhkannya. Sementara musim gugur dan semi berlalu, digantikan musim panas yang menyengat dan lembab.
“ Udara telah menjadi sepanas ini gadis kecil, tak inginkah kau berteduh?” seru sang awan dari kejauhan.
“ Aku takut jika berteduh aku takkan melihatnya lewat disini.”
Sang awan menatapku tak percaya. Mempertanyakan keteguhanku lewat matanya. Aku tersenyum meyakinkan, hingga kudengar suara tawa yang dalam datang dari arah belakang. Rupanya seekor kumbang belang hinggap di dahan rapuh sebatang pohon yang telah tumbang ,“ Aku salut dengan pendirianmu meski kurasa penantianmu akan menjadi kesia-siaan belaka.”
“ Mengapa engkau mematahkan semangatku?”
“ Tidak begitu. Aku hanya ingin kau gunakan logikamu, tak hanya hatimu. Menunggu sesuatu yang tak tentu hanya akan menjadi belenggu. Cobalah lihat sekelilingmu, berapa banyak hal baik yang bisa kau lakukan selama kau termangu-mangu menunggu Pejalan Jauhmu?”
“ Banyak perubahan yang bisa kau lakukan dengan tangan kecilmu. Tak usah menunggu orang lain mendorong dan mengajakmu.”
“ Tapi aku takut jika tanpa pembimbing jalan,” ungkapku.
“ Pembimbing jalan? Jadi itu yang kau pikirkan? Benarkah Sang Pejalan Jauh menjadi jawaban?” Sang kumbang belang menatapku dalam-dalam.
“ Bak pemantik, ia telah membakarmu. Membangkitkan kembali semangat mengarungi mimpi-mimpimu. Selanjutnya engkaulah yang harus mewujudkan itu.”
“ Tapi…tapi bagaimana jika aku gagal. Karena itu aku butuh teman…”
“ Dan Sang Pejalan Jauh yang kau harapkan bisa memberi bantuan?” sahut sang Kumbang Belang sambil terkekeh.
“ Tidak sayang…Menurutku kau tak bisa bergantung pada orang lain jika hendak mewujudkan seluruh angan. Melangkahlah ke hutan kehidupan dan belajar dari segala tanda yang ia suarkan. Dengarkan bisikan-bisikan. Ambil yang positif, buang yang negatif. Kau akan temukan jalan melayari kehidupan. Pupuskan keraguan, tanamkan kemauan kuat.”
Aku terdiam, meresapi ucapan si Kumbang Belang. Benarkah? Ia mengangguk tanpa keraguan. Ketika ia berlalu kata-katanya berdenging di kepalaku. Menghasilkan lubang-lubang kecil dengan seribu cahaya menyerangku. Kurasa ia benar. Aku memang harus menempuhi perjalanan dengan kepak sayapku sendiri. Terlampau khawatir tentang ini dan itu telah mematahkan semangat juangku.
Berbeda dengan hari-hari kemarin, hari ini kepakanku melebar dan menguat. Begitu pun tekadku. Dengan keyakinan kuterjuni hutan maha luas di depanku dan mempelajari kebijakan yang akan kutemui disitu. Aku tahu perjalananku takkan mudah, tapi bukan tidak bisa dilampaui. Akan kuletakkan ketakutan jauh di belakangku dan takkan kubiarkan ia menghalangiku mencoba hal-hal baru. Agar kelak ketika aku tiada aku takkan menyesalinya. Karena aku telah merasakan hidup yang sesungguhnya. Dengarkan, dengarkan kata hatimu. Dengarkan, dengarkan desis lembut angin yang membelahmu. Lajulah, laju! Kepakkan sayapmu dan hadapi hari-hari penuh petualangan baru.
Di satu sisi ranting cemara kuhentikan langkah. Menatap jingga langit senja diufuk sana. Suara adzan menggema, memanggil tiap mahkluk bersujud dihadapan-Nya. Tunduk luruh dalam doa sewaktu bayang Sang Pejalan Jauh melintas cepat. “ Terima kasih Tuhan ia pernah kau hadirkan dalam satu episode perjalanan hidupku. Sedikit banyak ia telah meninggalkan jejak positif untukku. Berperan menggelontor dan menjungkirbalikkan pikiran-pikiran berkarat di kepalaku.”
Senja melayang. Kegelapan datang. Bersama bisikan lembut yang kian lama kian terang di pendengaran,
“Akan selalu ada hal-hal yang tak mampu kau kendalikan, tapi kau baru benar-benar gagal kalau kau membiarkan hal-hal ini mencegahmu mencoba. Kalau kau tak pernah mengambil resiko, kau pun takkan pernah mencapai apa-apa. Lebih baik mencoba dan gagal, daripada takut mencoba.
Ada orang yang menghabiskan hidup tanpa pernah mencoba melakukan hal-hal baru, karena mereka takut gagal. Yang tidak mereka sadari adalah, walaupun orang pemberani takkan hidup abadi, orang yang selalu berhati-hati malahan tidak pernah hidup sama sekali.”
(Peter O’Connor, Seeking Daylights End)
Episode yang kelewatan
Inspired by
* Peter O’Connor (When Tomorrow Comes and Seeking Daylights End) I love this book so much
* my friends words : Diana Rini, Rina Astari, Tasya Madina, Tectona, Ceples Dian Kartika and Yuniati Nur Wahidah
pic taken from www.ib.berkeley.edu/labs/bentley
Masih berpikir tentang sempurna ketika melihatnya. Tinggi cantik putih, mempesona. Rambutnya coklat pirang, high heels-nya nggak ketulungan. Tinggi, runcing, langsing. Selangsing kaki belalangnya yang terpampang hingga di pertengahan paha, selebihnya menghilang di balik rok ber-rimpel warna baby pink. Naik ke atas sedikit sampai ke pinggang rampingnya. Melihat ukurannya mana mungkin 28, pasti 27 atau 26 ya?
Dan wajah itu betapa putihnya, mulus tanpa noda. Mungkin hasil karya salon-salon terkemuka. Bukan yang murahan, mana mungkin perempuan se-elite dia pergi ke salon macam itu. Mungkin saja dokter spesialis kulit seperti bosku-yang katanya harus mengeluarkan uang beratus-ratus ribu maybe
Ya Tuhan, aku kok jadi iri ya. Ingin rasanya memiliki apa yang ia punya. Ia sempurna seperti gambaran wanita-wanita dalam iklan. Andai saja waktu bisa diputar, aku ingin lahir dengan kaki jenjang sepertinya. Agar tak ada lagi yang mengolok-olokku sebagai Miss Kaki Kesebelasan. Besar, banyak goresan dan mesti pakai stoking kalau enggak mau kelihatan belangnya. Itu saran temannya teman, kedengaran manis tapi mengiris perasaan. Dan pinggang itu, aduhaaai! Tak ada sama sekali gelambir selulit nempel disana. Heran deh, kemana siiih lemak-lemak yang masuk ke tubuhnya disingkirkan? Betapa hebat pencernaannya, hingga segala hal yang tak penting bagai keberadaan tubuh langsingnya langsung dikeluarkan agar tak menjadi sampah di tubuhnya.
“ Kecilin tuh body! Pria-pria takut melihat body macam ini. Barangkali itulah yang jadi penghalangmu mendapatkan jodoh. Ngerti?” ucap seorang kawan kemarin siang sambil menunjuk selulit di perutku.
“ Pria-pira suka yang perempuan model tahun 2010. Ceking sehat. Bukan yang banyak lemak.” Aku diam, menahan perasaan.
Zab! Aku menonjoknya. Ia menggelepar di lantai, mengaduh dan meminta ampun. Sayang hanya dalam angan, sesalku bersamaan dengan sepasang tangan halus yang menarikku ke belakang dan membisikkan ,” Nggak usah diladeni. Cuma bikin capek hati.”
Aku menoleh, mengiyakannya. Tapi tak urung ucapannya buruk itu terus-menerus berdentam. Seperti bunyi drum, bunyinya memenuhi ruang perasaan. Mengaduknya dan menjadikan hatiku tidak nyaman. Damn!
Sreeek!
Bunyi kursi diseret. Lamunanku bubar. Kulihat dua pria, memakai baju krem dan satunya biru duduk di depanku. “ Hm...arah jam dua belas boleh juga,” seru si biru.
Si krem tersenyum penuh arti. “ Apalagi property yang menggantung di dadanya itu. Boleh sekali,” ucapnya disambut kikik geli si biru, kawannya.
“ Berapa kira-kira?”
“ More than 34 kurasa.”
“ Fyuuuh…,” kata si krem geleng-geleng kepala seraya menyeruput es jeruk pesanannya.
Aku tergoda untuk ikut melihat juga. Ah, Memang iya. Bukan cuma mengintip kurasa, tapi sudah melongok keluar. Hendak tumpah seolah ingin mempertontonkan keindahan benda putih mulus di baliknya.
“ Lehernya jenjang. Kakinya juga. Seperti burung flamingo ya?”
“ Iya. Ah, menyenangkan betul siang-siang melihat perempuan penganut paham minimalis soal dandanan.”
“ Hahahahaha!”
“ Andai minuman, ibarat kopi panas dia itu.”
“ Oh ya?”
“ Ya, enak dan mantap diseruput di saat malam-malam berhujan. Pasti menyegarkan.”
“ Ohohoho…iya sih. Tapi tahan berapa lama hangatnya? Toh akhirnya akan mendingin juga. Mana enak sih ngopi kalau sudah dingin?”
“ Lha ketimbang nggak ada lainnya?
Keduanya tertawa. Si wanita yang jadi bahan bicara tak menyadarinya. Sibuk ketak-ketik embuh apa di ponselnya. Berhenti. Ketak-ketik lagi. Manyun. Ketak-ketik lagi. Resah. Ketak-ketik lagi.
Siapa sih yang sampeyan kirimi sms?
Si cantik mengibaskan rambutnya. Mengingatkan pada model-model iklan shampoo terkenal. Seperti apa sih rasanya jadi sampeyan, Mbak? Pasti menyenangkan ya, setiap hari pergi diiringi tatapan kekaguman. Tak sepertiku yang tak pernah masuk hitungan. Takkan memacetkan lalu lintas jika menyeberang jalan, begitu istilah DA-ku (Distributor Advisory). Sedangkan sampeyan? Oh my…jangankan menyeberang jalan, baru dipinggirnya saja semua pasti menghentikan laju kendaraan.
Satu sms datang, berbarengan dengan terbukanya yahoo di tangan. Aku abaikan. Lebih baik ngecek emailku duluan. Hanya ada empat email baru-konfirmasi
Kembali dari dunia maya kulihat seorang waitress tiba ke meja dua pria tadi. Membawakan dua piring soto ayam komplet. Bersama dua gelas jus. Kuning warnanya. Mungkin jus mangga. “ Trims mbak…”ucap si krem, disambut anggukan waitress.
Tepat saat itu muncul dua orang perempuan. Memakai seragam, rambut di gelung rapih di belakang. Diberi pita. Hak tinggi menghiasi kakinya. SPG kurasa. Sejak tiba mereka berkicau saja. Tertawa-tawa, berisik, sambil menarik kursi untuk duduk mereka. Omongannya rame, seru, kebanyakan tentang pria. Mulai dari body sampai perut six pack-nya. Tak peduli pada tatapan aneh orang-orang lainnya. Seolah yang lain numpang dan hanya mereka yang bayar. Mengesalkan.
“ Burung-burung dara yang barusan tiba gimana?” si biru memulai bicara.
“ Es krim kurasa. Enak dijilati sambil jalan-jalan.”
“ Otak lo itu!”
“ Tapi enggak usahlah. Es krim lama-lama lumer juga kalau nggak dipasang di suhu yang pas. Mau disimpan dimana kalau enggak ada pendinginnya. Merepotkan saja.”
“ Jadi gimana?”
“ Air putih saja. Seperti yang di rumah. Menyegarkan walau tanpa gula dan campuran lainnya. Lebih alami dan tak perlu merasa berdosa menikmatinya. Dia juga bisa jadi apa saja. Terserah apa maunya, jadi kopi, teh…sudah halal.”
“ Akhirnya kembali ke selera asal.”
Derai tawa keduanya membahana. Aku bangkit meninggalkan meja, menuju kasir sambil mencatat kalimat terakhir tadi. Kembali ke Asal. Yang dirumah lebih halal. Sampai di parkiran langsung tancap gas, kembali ke kantor dan bergelut dengan rutinitas harian.
Malam tiba. Tak kemana-mana. Nonton teve saja. Salah satu serial menarik perhatian. Tentang perempuan yang bersikeras mengikuti kontes Dewi Amerika, hanya untuk mendapatkan cinta. Dengan serangkaian operasi plastik si itik buruk rupa dirubah jadi luar biasa. Tapi apa daya, setelah semua pengorbanannya ia masih kesepian juga. Cinta yang diharapkan malah kian jauh ketika semua orang merasa ia jadi pribadi yang tak menyenangkan. Seorang yang terlalu gupuh jika ada yang bilang ada satu bagian tubuhnya yang kurang. Dan selalu operasi plastik jalan keluar yang ia pikirkan.
Akhirnya, di tengah kegamangan ia memutuskan untuk membuang semua implant. Menjadi dirinya yang dulu, yang menurutnya biasa-biasa saja. Tetapi dilimpahi cinta orang-orang yang benar-benar menyayanginya. Orang-orang yang mendukungnya meski ia bukan siapa-siapa.
Aku tercenung memikirkannya. Moral cerita itu sederhana, syukuri apa yang ada. Tak usah mendongak ke atas karena belum tentu bahagia ketika kau telah meraihnya. Bisa jadi hanya luka sewaktu kau telah tiba di puncaknya sambil bertanya-tanya ,” Kemana hilangnya bahagia? Kenapa tak terasa jua setelah serangkaian derita?”
Aku merasa ditampar. Sangat keras.
Paginya, agak terlambat aku lari-lari masuk ke dalam kantor. Agak heran ketika orang-orang berkerumun di sudut ruang.
“
“ Ini lho, eman-eman. Cantik-cantik kok bunuh diri?” sahut seorang teman.
Aku melongok. Lho, itu
Terdorong rasa ingin tahu aku tarik koran, kubaca dan kudapati alasan si jelita itu melemparkan diri ke jurang kematian. Ia tak bahagia. Ia merasa tak pernah dicintai siapa pun juga semasa hidupnya. Limpahan harta tak memberikan arti apa-apa. Semua orang datang karena menginginkan sesuatu, bukan karena ketulusan. Itu yang tertulis dalam suratnya.
Jadi masihkah kau ingin sempurna? Sepertinya si jelita yang memilih membunuh dirinya?
Hatiku kecilku berucap tanya.
“ Di dunia ini tak ada yang sempurna. Karena Tuhan bertujuan mulia agar kita saling melengkapi dengan ketidaksempurnaan itu. Lagipula menurutku orang yang sempurna adalah orang yang menyadari ketidaksempurnaannya tapi selalu mensyukuri dan selalu berpositif thinking pada-Nya,” tulis seorang kawan nun jauh disana sewaktu aku mengiriminya email-ku yang berjudul Sempurna padanya.
Sore tiba. Hujan turun di menimpa jendela kaca. Masih belum reda. Sekedar membuang waktu, kutuliskan kejadian itu dalam satu rangkaian cerita, lalu diposting via blog tercinta. Bukan hendak menggurui siapa-siapa. Namun andai ada yang membaca aku berharap mereka mendapatkan hikmah cerita tentang sempurna.
* berteman Vicky Sianipar, Twelve Girls, Saluang (instrumentalia Minang), Apocalyptica, Vanessa Mae, dan The Dreamhouse Orchestra.