Selalu ada sisi lucu yang saya ingat saat kemarau tiba. Sewaktu kecil saya selalu menangis bila harus ngungsi mandi ke sungai bila sumur di rumah kering. Cob bayangkan gimana caranya saya bisa mandi dengan nyaman kalau semua mata seolah menatap saya (padahal tidak). Saya bisa celingukan kesana kemari sementara orang lain bisa membuka baju begitu saja dengan wajah tanpa dosa di tempat seterbuka itu. Jadi setiap kali saya niat mandi dan ada orang lewat, saya pun berhenti, begitu seterusnya hingga sungai sepi gelondangan. Alhasil jika saya berangkat mandi jam empat, saya baru pulang menjelang maghrib.
Saat awal kuliah, kemarau panjang yang melanda membuat saya pontang-panting menyelamatkan tanaman peliharaan dari kematian. Kalau tidak praktikum Dasgro (dasar-dasar Agronomi) saya akan gagal. Suatu hari sehabis praktikum Da-da-I-ta (Dasar-dasar Ilmu Tanah) saya langsung ke lahan, dan berusaha keras mengambil air dari sumur berjarak 100 m dengan ember kecil karena sumber air terdekat telah kering. Saat gelap menjelang saya mulai patah semangat melihat tanaman saya belum semua diairi. Akhirnya dipicu oleh rasa lelah, lapar, dan tubuh yang pegal-pegal, serta suhu badan yang mendadak tinggi, saya pun menyerah dan tanpa sadar meneteskan air (mata) sambil misuh-misuh dan ngedumel kenapa dulu masuk Faperta.
Sebelum lulus, kemarau yang parah menghajar hingga anak-anak kost Kalimantan 6 harus mengungsi kesana-kemari cuma untuk mandi. Salah satunya di Pengadilan Negeri tepat di depan kostan. Setiap sore serentetan cewek-cewek keluar dari Kal. 6 sambil membawa handuk, peralatan mandi dan setumpuk malu yang coba diabaikan. Bagaimana tidak kalau semua mata orang yang berjenis kelamin pria menatap kami dengan dengan aneh, disertai senyum geli, deheman mengesalkan sambil berkata," Mau mandi ya dik?
Sudah tahu bawa handuk masa main basket?! Kadang kalau begitu kita berharap, kami berharap kostan kami tidak terletak di jalan raya yang berlalu lintas cukup padat. Igh! Untung saja urat malu nggak kurang dari tiga belas, kalau tidak kita pasti balik kanan dan nggak mandi hingga esok pagi.
Sekarang saya bersyukur karena berkat air PAM saya bisa mandi dengan nyaman, tidak lagi ngungsi ke sungai walau sumur kering. Waah, bisa horrible kalau saya mesti nyemplung ke sungai lagi, saya kan bukan kuman di seberang lautan yang tidak tampak.....
Saya jadi mikir jika air tawar di bumi yang cuma 40% (atau kurang?) pada akhirnya akan menghilang. Coba bayangkan bagaimana susahnya jika kita harus mengolah air cuma demi segelas air. Kita memang harus mengakui kalau kualitas air tawar yang ada turun drastis karena kondisi
lingkungan yang berubah karena pepohonan banyak yang menghilang, padahal pohon berfungsi menyimpan air. Beberapa waktu lalu di Banyuwangi sendiri pernah ada program palmisasi, yang buyar karena masyarakat terlalu senang. Gimana gak senang palm yang ditanam palm merah, jadi saat bupati pulang palm merah pun hilang. Besoknya sudah ganti warna jadi palm hijau kurus yang langsung mengundang tawa orang. Hm, itulah indonesia..............
Tetapi ada satu kemarau lain yang gak bisa disembuhkan oleh air yaitu kemarau kasih sayang. Cuma ibu yang mampu memberikan ini. Ibu yang laksana air, dengan segala fleksibilitasnya mampu mengisi banyak ruang, memberi pengetahuan, serta meyimpan kekuatan dahsyat dibalik ketenangannya. Ia bisa menghancurkan atau membawa damai dengan kekuatan itu.
Untuk ibuku sayang, selamat ulang tahun. Kalau kemarin Ayu gak nelfon tanya ultah ibu mungkin kita bakal lupa deh kalau ibu ultah tanggal 26 nopember ini. Waduh, ibu jadi terharu begitu Wendy dan Raka menyerahkan bunga...hehehehehe...........
Saat awal kuliah, kemarau panjang yang melanda membuat saya pontang-panting menyelamatkan tanaman peliharaan dari kematian. Kalau tidak praktikum Dasgro (dasar-dasar Agronomi) saya akan gagal. Suatu hari sehabis praktikum Da-da-I-ta (Dasar-dasar Ilmu Tanah) saya langsung ke lahan, dan berusaha keras mengambil air dari sumur berjarak 100 m dengan ember kecil karena sumber air terdekat telah kering. Saat gelap menjelang saya mulai patah semangat melihat tanaman saya belum semua diairi. Akhirnya dipicu oleh rasa lelah, lapar, dan tubuh yang pegal-pegal, serta suhu badan yang mendadak tinggi, saya pun menyerah dan tanpa sadar meneteskan air (mata) sambil misuh-misuh dan ngedumel kenapa dulu masuk Faperta.
Sebelum lulus, kemarau yang parah menghajar hingga anak-anak kost Kalimantan 6 harus mengungsi kesana-kemari cuma untuk mandi. Salah satunya di Pengadilan Negeri tepat di depan kostan. Setiap sore serentetan cewek-cewek keluar dari Kal. 6 sambil membawa handuk, peralatan mandi dan setumpuk malu yang coba diabaikan. Bagaimana tidak kalau semua mata orang yang berjenis kelamin pria menatap kami dengan dengan aneh, disertai senyum geli, deheman mengesalkan sambil berkata," Mau mandi ya dik?
Sudah tahu bawa handuk masa main basket?! Kadang kalau begitu kita berharap, kami berharap kostan kami tidak terletak di jalan raya yang berlalu lintas cukup padat. Igh! Untung saja urat malu nggak kurang dari tiga belas, kalau tidak kita pasti balik kanan dan nggak mandi hingga esok pagi.
Sekarang saya bersyukur karena berkat air PAM saya bisa mandi dengan nyaman, tidak lagi ngungsi ke sungai walau sumur kering. Waah, bisa horrible kalau saya mesti nyemplung ke sungai lagi, saya kan bukan kuman di seberang lautan yang tidak tampak.....
Saya jadi mikir jika air tawar di bumi yang cuma 40% (atau kurang?) pada akhirnya akan menghilang. Coba bayangkan bagaimana susahnya jika kita harus mengolah air cuma demi segelas air. Kita memang harus mengakui kalau kualitas air tawar yang ada turun drastis karena kondisi
lingkungan yang berubah karena pepohonan banyak yang menghilang, padahal pohon berfungsi menyimpan air. Beberapa waktu lalu di Banyuwangi sendiri pernah ada program palmisasi, yang buyar karena masyarakat terlalu senang. Gimana gak senang palm yang ditanam palm merah, jadi saat bupati pulang palm merah pun hilang. Besoknya sudah ganti warna jadi palm hijau kurus yang langsung mengundang tawa orang. Hm, itulah indonesia..............
Tetapi ada satu kemarau lain yang gak bisa disembuhkan oleh air yaitu kemarau kasih sayang. Cuma ibu yang mampu memberikan ini. Ibu yang laksana air, dengan segala fleksibilitasnya mampu mengisi banyak ruang, memberi pengetahuan, serta meyimpan kekuatan dahsyat dibalik ketenangannya. Ia bisa menghancurkan atau membawa damai dengan kekuatan itu.
Untuk ibuku sayang, selamat ulang tahun. Kalau kemarin Ayu gak nelfon tanya ultah ibu mungkin kita bakal lupa deh kalau ibu ultah tanggal 26 nopember ini. Waduh, ibu jadi terharu begitu Wendy dan Raka menyerahkan bunga...hehehehehe...........