Aku pikir diary itu kosong saja, tapi ketika halaman-halaman terakhir terbuka justru disanalah cerita bermula…
17.23 (15 November’ 07)
Kau hunjamkan senyum itu untukku. Pedih merayapi dada dan entah kenapa seperti patah hati kurasa. Kau suarkan tawa itu renyah itu lantas melenggang riang bersamanya.
Fine, I’m fine…tapi air mata ini berderai, membadai hujan. Hei, kenapa begini? Bukankah aku sudah menyiapkan untuk kejadian terburuk hari ini? Bukankan aku tahu cinta itu tak pernah untukku? Dunia memang tak runtuh saat kau pergi. Pohon-pohon masih juga berdiri di tempatnya.
Tapi sepasang sayap pengharapan yang selalu kupasang telah patah di hempas kenyataan.
Sejujurnya takkan mudah untuk memutihkan kembali kertas putih yang pernah memerah muda. Bagaimanapun usahanya tetap akan ada jejak tertinggal disana.
18.30 (23 November ‘07)
Serpihan hati ini kupeluk erat
Akan kubawa sampai ku mati
Memendam rasa ini sendirian
Ku tak tahu mengapa aku tak bisa melupakanmu
Kupercaya satu hari nanti
Aku akan merebut hatimu
Walau harus menunggu sampai ku tak mampu menunggumu lagi
(Utopia)
Aku pernah mendengar mereka berkata Tuhan ,“ Jika kau memikirkan sesuatu setiap hari tanpa henti, sesungguhnya kau tengah menghipnotis diri, percaya suatu ketika harapan itu akan terjadi.”
Walau begitu jika kejora itu bukan untukku, biarkan hatiku meredupkannya. Menempatkannya pada posisi yang seharusnya. Bukannya terus bermimpi meraihnya.
22.39 (07 Desember ‘07)
angin berhembus mengantarkan bayangannya
Aku berusaha menjangkau tapi hanya ada kosong belaka
Ia tak ada, ia tak nyata
Hempaskan kekeraskepalaanku
Menunjukkan kenyataan di depan sana
Segelintir pahit menusuk, menikam hati dan menyadarkanku
Kenyataan tak pernah semudah impian
Dia bukan milikku
06.17 (25 Desember ‘07)
Ia bertanya apa aku baik-baik saja? Kemana aku sekian lama nggak menengok dunia maya
I lied to him, book…
Aku tidak baik-baik saja. Semangat itu sudah tak ada lagi. Seluruh ide itu terasa kering dan mati. Onlen dan ngeblog jadi tak berarti lagi.
Aku bilang aku ingin tetap jadi temannya. I lied to him, book…
Aku tak ingin jadi temannya. Karena kau tahu aku ingin berada disisinya sebagai bintang hatinya.
Oh, Aku lelah, aku menggigil…
Kenapa ini?
21.00 (10 Januari ‘08)
Aku rindu suara gitar, book…temani aku menyanyi lagunya Chrisye ya?
Surgamu bagai air mengalir
Basahi panas terik di hatiku
Menerangi semua jalanku
Kurasakan tentramnya hatiku
…….
Aku lelah, aku melihat rumah
Tapi mengapa tak ada ibu dan ayah?
Kemana Ka dan Dy?
Kututup buku harian itu dan bertanya-tanya sendiri siapa pria ini. Apakah dia pria yang sama yang membuatmu menangis dipunggungku hari itu, yang kau ceritakan sebagai the craziest guy you ever knew? Diakah yang membuat semangatmu terus membara menantang kanker di tubuhmu? Diakah yang membuatmu tak takut menjalani khemoterapi lagi?
Mungkin ia tak tahu pengaruhnya terhadapmu, tapi aku tahu betul bagaimana matamu menjadi hidup jika kau ceritakan tentangnya. Adakah dia dalam deretan nama-nama blogger yang tertulis dalam link-mu?
Kamu telah pergi, dan blog ini takkan sama lagi. Ingatkah kamu ketika kita garis bawahi kalimat yang berbunyi “ mudik adalah kematian dan kampung halaman adalah Tuhan Sang Pemilik” dalam Surat Cinta Al-Ghazali waktu itu? Kurasa inilah yang kini kau lakukan, kau pulang dan kembali ke kampung halaman tempatmu berasal.
I love you, Kak…
Ka
Done 9.02 (260108)