Wednesday, October 29, 2008

THE BRANDALS, SUDDENLY I LIKE YOU




Jatuh cinta? Ah mana mungkin, terlalu cepat untuk mengatakannya sementara saya tak terlalu dalam mengenalnya. Suka? Kurasa ya. Dan itu adalah kalimat yang pas untuk menggambarkan perasaan saya padanya. Ia mengajak saya menari lewat musiknya, satu hal yang tak saya prediksi karena ketika awal perkenalan ia bikin saya enggan. Glodag banget sih, pikir saya ketika ia membawakan Mobil Balapnya Naif dengan caranya sendiri. Entah kenapa saya bilang enggak asyik (mungkin karena saya terlanjur suka Mobil Balap versi asli kali ya?)

Tapi pada pertemuan kedua, ia menarik hati saya untuk melompat dan tersenyum padanya.
100% Kontrol mengalun dan merasuki gendang telinga untuk kemudian mengajak saya bergoyang mengikutinya. Sendirian saja dalam kamar bernuansa hijau yang dipenuhi buku dan kertas berserakan.
“ Lagu apa sih nih kok banyak kontrolnya? Blablabla… kontrol…kontrol blablabla..” batin saya dulu waktu pertama kali dengar tapi sekarang ternyata lagu yang kebanyakan kontrol itu kok terasa menyenangkan.

“Makanya Don’t Jugde the book by its cover!” hati mungil saya berteriak kecil, membuat saya tersipu lucu, agak malu.

Lalu secara musikalitas The Brandals itu bagaimana? Andai saja ada yang bertanya seperti itu pada saya terus terang saya hanya akan tersenyum lebar. Saya ini orang awam mana saya ngerti soal-soal begituan. Seperti kata orang musik itu kan universal setiap orang bisa menikmatinya meski tak paham bahasa atau kalimat yang terpaparkan( soundtrack-soundtrack lagu Manga Jepang yang suka saya dengar misalnya). Maka begitulah awal saya mendengarkan The Brandals. Tanpa mendengarkan liriknya saya pikir 100% Kontrol itu catchy (nonjok gitu istilahnya sekarang). Begitu juga dengan lagunya The Brandals lainnya- Lingkar Labirin, saya abaikan lirik lagunya dan enjoy dengan musiknya. Berlanjut dengan 24 Jam lewat (yang sialnya itu download kepotong..argggh!), Surat Seorang Proletar Buat Para Elit Borjuis, Is it You Girl dan Generator dari album Audio Imperialist (bener gak sih judulnya Generator?).

The Brandals, saya rasa saya menyukainya. Bersama-sama dengan Twelve Girls (itu lho dua belas cewek asal China yang jago memainkan musik-musik tradisonal china dengan konsep orkestra) serta Vanessa Mae mereka menemani saya duduk sekian lama di depan komputer, mengalirkan imajinasi lewat jemari lewat berbagai jalinan cerita yang entah kapan akan tamat.

Anyway, ada yang berniat menghadiahi saya CD-nya The Brandals dari awal?
Anu saya jujur kok jadi penasaran pengen dengar dia secara keseluruhan, hanya dari beberapa lagu yang-maaf-saya download secara gratisan. Yah nggak ngarep sih, tapi kalo The Brandals baca ini kali dia jatuh hati…eh berbaik hati gitu ding. Lha saya kan fans baru….

*pasang tampang kepengen mode on

I made this posting sambil nulis cerita (yang uasal saja) plus goyang-goyang pala dihantam The Brandals

Pic: taken from here

Monday, October 13, 2008

MENGENANG KEMBALI BOM BALI I



Saya memang bukan korbannya, bahkan sampai kehilangan sanak dan saudara disana tapi saya ada disana untuk melihat betapa dahsyatnya akibat bali blast12 Oktober 2002.

13 Oktober pagi, kami dengar semua orang berkata Kuta telah diluluhlantakkan. Dengan mata yang belum genap terbuka, kami nongkrong di depan teve dan berurai airmata begitu menyaksikan beritanya. Begitu banyak kepanikan yang terekam, asap dan puing-puing berserakan. Banyak darah dan tubuh berceceran seolah tak ada harganya. Kenapa? Kami tak berhenti menyusut airmata dan mengutuk setiap kali stasiun teve yang kami lihat menampilkan Bali yang terluka.

Lalu mendadak Bali mendadak jadi sorotan besar-besaran. Kepanikan besar terjadi. Tiap sore kami melihat anggota AFP dan Polisi-Polisi Polda Bali wara-wiri di Kuta square. Pemeriksaan KIPEM (kartu penduduk musiman? Lupa artinya saya) terjadi dimana-mana. Tiap hari berita tentang kehilangan dan kehilangan terus terjadi, menggiriskan hati.

“ Banyak mayat bergeluntungan di Sanglah, di sana-sini banyak plastic berisi potongan tubuh korban,” kata seorang teman yang nekat ke Sanglah. Maka pesannya kemudian hanya satu, jangan berani-berani kesana jika tak punya nyali, jika tak mau menanggung resiko kehilangan nafsu makan dan susah tidur nyenyak.

“ Ini lho mobil ice cream Haagendaaz yang kepalanya hilang itu,” kata teman saya ketika kami sempat lewat diseputar TKP.
Saya melongoknya. Kacanya mobil itu bolong, hilang entah kemana. Saya geleng-geleng kepala membayangkan bagaimana ngerinya menemukan sesosok tubuh tanpa kepala, andai kisah itu benar adanya.

“ Jadi beginikah kondisi Paddy’s cafĂ©,” ucap saya dalam hati ketika saya melongoknya lewat gang kecil disebelahnya, setelah muter-muter cari jalan alternative untuk sampai ke TKP.
Botol-botol kratingdaeng masih berdiri, beberapa botol minuman keras entah dengan merk apa masih tegak, diantara perabotan seperti kursi dan sebagainya yang gosong-gosong dimakan api.

Di depan Sari Club, didepan police line yang terbentang saya berdiri. Saya lihat lubang besar menganga dijalanan tepat di depan Sari Club, sementara Sari Club sendiri sudah porak-poranda. Karangan bunga dan ucapan duka cita terhampar di depan Sari Club. Foto-foto kekasih, sahabat, anak atau siapapun yang hilang banyak tertempel disana termasuk boneka kesayangannya atau bahkan sandal jepit yang terakhir mereka gunakan. Lilin-lilin dinyalakan sebagai penanda duka cita, menggiringmu untuk ikut menangisinya. Beruntunglah saya karena saya hadir di TKP dalam kondisi sudah lebih baik, saat semua puing sudah dibersihkan.

Andai saja mereka dengar ketika seorang anak berkata ‘Kak, saya mungkin takkan les lagi, karena Bapak saya kena PHK’ seperti yang diceritakan teman saya.
Andai saja mereka mendengar banyak anak enggan sekolah karena trauma.
Andai saja mereka menyaksikan orang-orang yang tak bias nyenyak karena merasa mendengar tangis dan jerit tak berdaya di lokasi kejadian.
Andai saja mereka menyaksikan bagaimana banyak kehidupan yang tak ada kaitannya dengan perjuangan mereka terampas dan menimbulkan kedukaan.

Itukah harga yang pantas untuk sebuah perjuangan, sebuah jihad demi memerangi kebatilan (dalam hal ini Amerika)? Pertanyaan itu berurai dimana-mana, termasuk di otak saya.
Jika semua terjadi karena cinta, pada agama, pada keyakinan kita dibenarkankah kita menyakiti manusia karenanya?


pic : taken from http://upload.wikimedia.org/

Sunday, October 5, 2008

SERATUS EMPAT BELAS EMAIL DARI TUHAN


Seratus empat belas email Engkau kirimkan Tuhan, tapi selalu kulewatkan karena lebih asyik membaca milis-milis junk atau email dari gebetan

Seratus empat belas email Engkau kirimkan Tuhan, tapi jarang kuperhatikan karena aku sibuk dengan chatting dan blogging yang tak berkesudahan.

Seratus empat belas email kau kirimkan Tuhan, tapi selalu berakhir dengan pengingkaran seperti nasib janji kencan kita yang sebanyak lima tiap harinya.

Seratus empat belas email Engkau kirimkan tuhan tapi membacanya pun aku enggan, karena novel dan komik lebih mengasyikkan.

Tapi ketika sakit mendera, ketika lelah menyeruak jiwa aku datang padamu dengan tersedu. Mengadu penuh rasa haru berbareng dengan hujan rintik-rintik yang menjatuh dari pipi ke sela jari.

" Apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia ( kembali) melalui (jalannya yang sesat) seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya," peringatmu kala itu, menukil ayat 12 dari surat Yunus, email-Mu yang kesepuluh.

" Maka nikmat mana yang kamu dustakan?" tanyamu merujuk salah satu ayat yang tertera dalam Ar-Rahman, email-Mu yang ke-55 , mengingatkan aku atas kebahagian yang aku punya saat aku menggerutukan ketidakadilanmu atas harapan yang meleset dari jangkauan.

" Apa yang kau tunggu lagi gadis kecil? Jangan tunggu mengucap syukur atas nikmat yang kuberikan hingga matahari digulung dan gunung-gunung dihancurkan ," kembali kau ingatkan aku lewat At-Takwiir, email ke-81 yang baru kubuka sekarang.

Seratus empat belas email Engkau kirimkan Tuhan, mulai dari Al Fatihah hingga An Naas, dan aku begitu sombong hingga tak pernah menulis email balasan.


Banyuwangi, 31 Agustus 2008; 13;36

picture taken from www.e-picworld.com