“ Yo ben! Pokokmen aku seneng,” balas sampeyan enteng waktu seseorang menegur perkara penampilan yang aneh bin ajrut-ajrutan itu.
“ Sumpah deh, saya gak mau sama orang kayak gitu,” batin saya sambil berlalu.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Pelan-pelan tingkah laku sampeyan mencuri perhatian. Cara bicara yang tajam dan tepat sasaran bikin saya ternganga, kepingin nimpuk tapi sekaligus menyadari kalo sampeyan benar tentang makna pasrah yang sering kali disebut banyak kyai dalam pengajian bukanlah pasrah, neda nrima, tanpa usaha. Sudah ada pancingnya, maka kaillah ikannya. Jangan diam saja berharap pancingnya mengail sendiri. Opo tumon?
“ Ibarat sedang kebanjiran. Apa iya sampeyan akan larut oleh pusaran arus tanpa mau berenang ke pinggiran? Yo mati no sampeyan. Wis ta lah buang kata nggak bisa, nggak mampu itu dari kepala. Karena pikiran buruk akan melemahkan semangat, ” cerocos sampeyan, bikin sewot pendengar.
Ngomong sih gampang! Prakteknya yang susah, tahu nggak siih?!
“ Lha nyatanya saya bisa, mosok sampeyan enggak. Bukankah Allah itu ngasih kesempatan sama pada tiap manusia.”
“ Tapi kalau takdirnya gitu gimana?”
“ Lho bukannya takdir itu bisa berubah. Usahakan dulu baru ngomong yang itu. Buktikan kalo sampeyan bisa, jangan ngeluh, jangan omdo saja!” balas sampeyan ringan, seringan sesapan kopi panas yang kini sudah tinggal ampasnya doang.
“ Wis, ya. Saya mau sholat ashar dulu. Nanti kita terusin lagi ngobrolnya.”
Deg! Jadi pria ini masih sholat juga? Tak pikir dia seajrut-ajrutan gayanya. Keren banget ya? Aneh, mendadak hati saya tergetar, melihat apa yang sampeyan lakukan. Beribu lonceng di dada gemerincing seketika.
CLING! CLING
Lonceng-lonceng di hati pun berbunyi.
CLING! CLING!
Begitu bunyinya melagukan satu symphony cita hati.
“ Syukurin, syukurin! Makanya jangan suka judge the book by its kolor (hihihihi), bener kolornya bulukan, bener wajahnya kusam sama sekali tapi belum tentu tidak tahu cara mencintai Tuhan,” ejek bayangan dalam kaca saya sambil berjingkrakan. “ Nananana, kamu jatuh cinta! Nanananana!”
Ndak itu bukan cinta, sangkal saya. Tapi kenyataan berkata lain, sangkalan saya mentah ketika bayang-bayang wajah jahil dan mata tersenyum jenaka hadir dalam berbagai pose di tembok kamar. ARRGGH! Menyebalkan!
“ Ya Khalik, mbok ya jangan dia. Kan masih banyak pria yang lebih baik darinya?” keluh saya dalam doa.
“ Apa kata Ustadz dan kawan-kawan sepengajian kalo tahu saya naksir sama pria aneh yang blas ndak pawakan santri kayak gitu. Byuh, bisa habis saya diguyu-guyu.”
Meski begitu tak urung saya selalu mencari-cari alasan untuk ketemu dan kecewa ketika sampeyan tak kelihatan dimana pun jua. Duh ya perasaan ini apa namanya? Kenapa ketika melihat sampeyan saya sangaaat lega, tapi ketika tak ada saya pengen njotos muka siapa saja (termasuk muka sampeyan) biar ikut merasakan pedih perihnya perasaan saya.
“ Tulis email! Kirim SMS! Beres!” seru Cinta mendengar curhat saya.
“ Ndak bisa. Saya ndak sanggup melakukannya.”
“ Lho, trus gimana caranya dia tahu kalau kamu suka dia? Sudahlah….DOR! Tembak saja! Kalo dia ternyata kutubnya negative ya dia kabur, kalau positif ya maju terus pantang mundur.”
Oalah, Cinta…Cinta, andai semudah itu melakukannya. Saya justru takut menyusahkan dia jika saya berterus-terang seperti usulmu itu. Akan jadi tak mengenakkan jika ternyata dia sudah tak sendiri dan si tambatan hati mengetahui ada orang lain yang suka sama kekasihnya. Gawaaaat, gajah makan kawat, Ta! Bisa kiamat dunia dalam sekejap. Lagipula saya tak ingin dia kabur setelah tahu perasaan saya. Ah, eman-eman rasanya. Bukankah dari dia kita bisa belajar banyak, dia Guru yang tak terduga, dimana saya suka mengaji diam-diam darinya.
“ Kalo dianya tiba-tiba menjatuhimu cinta gimana?”
“ Wuaaa, laen cerita! Tak terima dengan tangan terbuka, dengan catatan dia masih sorangan ya.”
“ Nggak sih, ngomong-ngomong apanya yang bikin kamu termehe-mehe begitu rupa. Kaya ya dia?”
Lah, kok saya malah ndak tahu dia kaya apa ndak. Yang saya tahu dia punya kerjaan. Lagian saya malah berharap dia itu orang biasa, saya miris banget kalo dia banyak duitnya. Bisa-bisa dia jumawa dan pengen kawin empat-lima wanita! Ah, bikin nelangsa.
“ Atau tampan?”
Woalah, kalau wajah kayak gitu dibilang tampan gimana dengan Brad Pitt, ya? Enggak, coy! Biasa aja (thanks Allah karena dia biasa aja), super biasa. Nanti deh saya tunjukin gambarnya, biar kamu bisa menilai sendiri seperti apa dia.
“ Atau rayuannya maut?”
Wah embuh, ya. Belum membuktikan, tapi kalo memetik gitar sambil menatap bintang itu tergolong rayuan (pulau kelapa?), saya sih mengakui sering tersihir mendengar kemampuannya yang ini. Saking tersihirnya sampai saya jadi liyer-liyer ngantuk dan tak sadar kalau liur netes semua. Hwahahaha!
“ Lalu apanya yang istimewa hingga bikin kamu nolak banyak pria?”
Duoooh! Bukan nolak, Cinta, saya hanya nggak tahu kenapa kata-kata ya seolah ilang dari kamus bahasa Indonesia di otak saya tiap kali mereka serius bertanya-Apa kamu mau jadi pendamping saya?- terlebih ketika muka jahilnya terbayang di pelupuk mata.
“ Sudah empat pria kau anggap angin lalu lamarannya. Pertama pria santun, penyabar yang katanya bekerja sebagai Guru di SD XYZ itu. Ia yang datang tanpa diundang pulang nggak pake diantar itu harus kecewa karena kau menolaknya meski caramu sehalus sutra.
Kedua, saudagar kaya yang berkata akan langsung membawamu naik haji selepas kalian jadi suami istri. Tuh kan kurang apa lagi?
Ketiga si Donny, pria sederhana yang ndak ada modis-modisnya. Tapi punya sikap lembut dan penyayang serta pekerjaan mapan di perusahaan IT, yang ternyata tak membuatmu terkesan sama sekali.
Keempat si tampan Pierce Brosnan (duooh, cuma mirip doang, itupun kalo dipandang pake sedotan), yang naksir situ bukan kepalang. Yang bilang kalau mau bintang tinggal bilang, pengen bulan tinggal pesan. Iih nggak kreatif, dikiranya aku nggak tahu kalau rayuannya itu nyontek abis lirik lagu?
Katakan padaku apa istimewanya pria itu!”
Ndak tahu! Pokokmen dia okeee aja dimata saya! Ah kok jadi ikutan cara ngomongnya sih?
“ Tapi ku lihat kamu menderita. Bertepuk tangan saja agaknya. Apa kamu nggak menyesal mencintai dia?”
Tidak. Saya ndak menyesal ia pernah tiba di hati saya dan memberi saya warna pelangi meski sekejap saja. Jatuh cinta kepadanya juga membuat saya lebih dekat dengan Allahu Robbi, berkeluh kesah padanya saat buncahan rasa yang nano-nano rame rasanya itu membikin saya sengsara. Kamu tahu, gara-gara itu juga aku jadi rajin sholat malam, ngadu sama Allah sambil nangis saking kagaaak nahaaaan gara-gara kangen yang menggumpal (syah!).
“ Wooh, dasar! Niatan nggak bener tuh! Deket-deket karena ada mau.”
Iya seeeh, tapi belakangan aku justru mikir, mungkin dia secara nggak langsung dikirim Allah untuk membuatku sadar jika selama ini aku terlampau sombong karena menjauhinya, tak pernah meminta dan merasa kalau saya baik-baik saja, mampu mengatasi segala. Lupa kalau saya ini hidup diatas bumi ciptaan-Nya. Wa lillaahi maa fissamaawaati wa maa fil ardli…dan kepunyaan Allah-lah yang ada di langit dan di bumi.
Begitu enaknya saya nikmati dunia, tapi enggan mendekati empu-Nya. Ngeles saat menepati janji kencan yang lima. Cik kurang ajare saya!
“ Sekarang ?”
Sekarang sudah beda lagi. Aku mendekati Allah karena sebuah kebutuhan, Cinta. Aku merasa nyaman ketika aku tengah konek dengannya, bercerita tentang sedih dan gembiraku sebagai mahkluknya.
“ Ciee, alim nih ye?”
Haha, ndak juga. Saya ini manusia, seonggok debu di sahara. Menjauh darinya juga ndak bikin saya jadi lebih perkasa.
Ah semoga Allah memercikkan Nur kepadanya, melembutkan hatinya, menjadikan ia semakin dekat kepada Tuhan-nya, mencintai keluarganya, sahabatnya, dan terutama orang-orang kecil di sekitarnya. Menjadikan ia pria yang bisa menggunakan segenap harta dan ilmunya demi kebaikan agamanya. Amiin (Cinta, aminin dong, jangan diem aja).
“ Heh, kamu belum jawab tanyaku. Ayo jawab seperti apa dia?” Cinta memaksa.
Malu-malu saya menunjuk ke satu sudut. “ Itu dia,” kata saya.
Cinta menoleh ke satu sudut dan melongo. Mak Ploook! Dia tepok jidatnya sambil ngedumel panjang pendek di depan hidung saya.
“Woalah jan edun! Dasar kamu nyamuk Aedes Aegepty ndak tahu diri! Dari jaman kuda gigit besi, mana ada manusia mau sama nyamuk begini?”
Hiks! Saya tertawa. “ Lah wong cinta, tak ada salahnya…” teriak saya sambil terbang cepat menghindari raket listrik Sang Pejalan Jauh yang terayun lurus.
^_^
A story,
Inspired by Di and the whole story (whuuf, I hope you get your dream finally), my chit chat with Cinta Astari, and Man behind the wall (I used to see him over and over to describe Pejalan Jauh)
Thanks to : Forbidden City (Twelve Girls), A Phantom Agony (Epica), Is It You Girl (The Brandals) plus Mahabbah Rindu-nya Abidah El Khalieqy
No comments:
Post a Comment