Minggu pagi, ngerem aja di kamar sendiri. Sibuk buka-buka ebook hasil download kemarin. Secangkir besar susu coklat panas jadi teman. Baunya harumnya bikin perut jumpalitan. Lalu srupuuut! Hm, masih panas. Meluncur ke dalam perut yang keroncongan bersamaan dengan suara assalamualaikum di pintu depan.
Kuseret sandal kelinci kesana dan bertanya-tanya-Siapakah dia gerangan? Oh ternyata Mama, adik ibu yang nomer dua.
“
“ Ibumu mana?”
“ Di belakang, bercanda sama lele-lele di kolam.”
“ Lha kamu kok masih awut-awutan. Masih belekan gitu. Apa nggak ada acara keluar ?”
“ Enggak, Ma. Tanggung bulan gini dompet mulai kosong glondangan. Males jadinya keluar.”
“ Apa kalau keluar itu harus butuh uang? Enggak dong, jalan-jalan sama pacar meski dompet kosongan tapi membahagiakan lho.”
“ Heheheh, masa sih? Masalahnya itu dia yang nggak ada, Ma.”
“ Cari dong, masa pacaran sama buku aja. Kamu tahu simple kok syarat mendapatkan pasangan itu.”
“ Apa, Ma?” tanyaku antusias.
“ Siap.”
“ Siap? Siap gimana?”
“ SIAP..PA SAJA.”
“Hah? Siapa saja? Asal pria dan ada nafasnya? Hiiih ngerinya? Mama ini gimana?”
Melihat mimikku yang seperti orang melihat drakula itu, Mama ngakak-ngakak.
“ Ya bukan gitu juga. Maksud Mama siapa saja, asal pas di hati dan jiwa. Nggak perlu heibaaat, seperti Brad Pitt.”
“ Pas di hati dan di jiwa mah gampang nulisnya. Aplikasinya susah, Ma.”
“ Emang apa sih syarat buat jadi pasanganmu? Harus sarjana gitu?”
“ Nggak muna sih, Ma. Kalau setara
“ Hei, Yang, memangnya ada kalau syarat jadi ayahnya anak-anak harus sarjana.
Iya juga ya. Sarjana juga belum tentu bisa jadi suami dan ayah yang baik ya? Pinter juga Mama…
“ Ingat ya, Molen. Dia mungkin bukan pria yang paling maha, kamu nyaman bersamanya.
Nyaman? Kedengarannya kok seperti selimut ajaib yang enak untuk bergelung saat musim hujan. Asyik buat rebah-rebahan dan nggak bikin gerah badan saat kemarau melanda. Pokoknya always coca cola, nyaman di segala suasana. Itukah dia?
Aih mendadak jadi ingat Ustadz. Beliau sering kali berkata ,“ Carilah pasanganmu karena empatnya. Wajahnya, hartanya, akhlaknya, dan agamanya. Nah tapi dibalik semua yang penting itu yang paling akhir. Insyaallah jika agamanya bagus maka baguslah semuanya…. Dan bla…bla…bla…”
Kami percaya itu. Namun, sekali lagi namun, begitu tiba pria yang akhlak dan agamanya bagus, hadir dengan sederhana, tanpa banyak bunga kata dan kesombongan di sekujur tubuhnya kenapa hati justru angot-angotan? Kenapa kita tak serta merta ikhlas menerimanya? Berbeda jika yang hadir adalah mahkluk berlabel ‘bad boy’ di jidatnya, entah kenapa ia pintar sekali menarik hati kita. Menyedot perhatian dengan tingkah lucu dan kata-kata mesra, padahal sholat dan ngaji aja dilewatkannya. Gila ya?
Hah, apa sih yang kamu cari hai wanita? Nggak ngerti gua! Hati kecil geleng-geleng kepala.
*iseng aja sambil nginget-inget chit-chatku sama Di (kembaran lain ibu lain babe)
No comments:
Post a Comment