Sang Pejalan Jauh
Si Kemayu.
Dia tak sadari kalau aku menangkap profilenya dengan kameraku.
Sebenarnya sudah lama juga menahan perasaan. Sejak masih bau kencur dan malu-malu bila ketahuan suka bocah perempuan. Di usia ketujuh belas aku menyatakan perasaan setelah sekian lama dipendam. Hasilnya hanya senyuman. Tanda diterima? Bukan? Ia menolakku dan menyatakan kalau ia menyukaiku sebagai teman.
Sialan!
Tapi aku tak patah arang. Masih juga berharap dengannya-lah kuhabiskan hidup hingga ajal menjelang.
Lalu perempuan lain datang. Mengisi kesendirian, membuatku melupakan si kemayu. Tapi tak sepenuhnya begitu. Yang lain, yang juga kemayu, tak mampu mengusirnya sepenuhnya ia dari anganku. Tak bisa dibantah bila senyumnya mengawang di angan kurasakan kenyerian yang sulit dilukiskan. Apa itu sebuah kebodohan? Entahlah.
Sekarang di usia yang sudah matang, kuulangi lagi ungkapan perasaan. Apa itu bahasa anak sekarang? Nembak kan? Dan jawabannya kembali senyuman. Ah, jadi gemas. Sungguh, senyuman itu membuatku mulas. Dulu itu saat ia menolakku gayanya juga begitu kan?
Dari matanya aku membaca kata-kata-Aku menyayangimu. Sungguh. Tapi sebagai sahabatku. Tak lebih dari itu.
Hai!
Si Kemayu melambai padaku. Minta difoto bareng sama kawan-kawan SMA kami dulu.
Aku bergegas kesitu. Masih juga kemayu. Dari satu sudut kutangkap kembali profile-nya itu. Anggun ayu dihiasi jilbab ungu. Begitu menonjol dimataku. Sementara yang lain, perempuan-perempuan lain yang juga ayu-ayu mengabur di mataku.
Klik.
Kembali kutangkap senyumnya dengan kameraku. Untuk kenangan. Karena sebentar lagi tak bisa leluasa menikmati senyuman itu. Ia akan jadi milik orang. Dan aku pasti sungkan kalau memandangnya terus-terusan, seperti sekarang.
Ah Tuhan, jangan biarkan perasaan ini terus-menerus datang. Ikhlaskan hatiku menerima kenyataan dan menempatkannya di satu sudut ruang perasaan bernama Persahabatan. Bukan kekasih atau belahan jiwa. Desisku saat kamera menangkap dirinya ditengah keriaan kawan-kawan lama.
“ Jangan lupa di upload ya,” pintanya.
Aku mengangguk mengiyakan. Bersamaan dengan bersiroboknya mataku dengan mata bulat di sudut ruang.
Si Mata Bulat di Sudut Ruang
Sekian lama menunggu. Kurasa tak ada ruang untukku disitu. Di hatinya hanya ada ia.
Tak apa, memang rasa tak bisa dipaksa. Hanya mengikisnya akan membutuhkan usaha ekstra. Lebih baik begitu, ketimbang selalu berharap tak tentu.
“ Tahun depan kita ketemu lagi disini!” seru seorang kawan membuyarkan tatapan dua mata yang tak saling bertautan, milikku dan pelukis cahya.
Semua mengiyakan. Aku juga. Berjanji akan datang tahun depan jika tak ada halangan. Sejurus kemudian pintu keluar dijejali orang yang hendak kembali pulang selepas meluapkan kerinduan pada kawan lama dan kenangannya.
Aku menghela nafas. Menghembuskan ganjalan di hati. Kenangan hanya indah untuk disimpan dan dikenang. Ada baiknya dibiarkan demikian. Begitu juga rasaku padanya, sang pelukis cahya.
“ Sendirian? Ayo kuantar pulang,” tawarnya sewaktu melihatku di depan pagar rumah Vi, tuan rumah reuni kali ini.
Aku menggeleng. Aku bisa pulang sendiri.
“ Sungguh?”
Aku mengiyakan seraya melambai pada tukang becak di ujung jalan. Tak hirau pada tatapan yang sulit diartikan.
Becak datang dan membawaku pulang. Meninggalkannya tertinggal di belakang.
Sang Pejalan Jauh
Mata bulat itu.
Termangu aku melihatnya pergi. Tanpa basa-basi. Hanya sekilas senyuman tanpa embel-embel percakapan.
Biasanya tidak begitu. Kenapa kamu?
Mendadak menyadari sesuatu. Ada jarak terbingkai di mata bulat itu. Ia memilih pergi dan tak menungguku. Kurasa adil, setelah sekian lama ia setia menanti rasaku.
Aku bukannya tak tahu, hanya saja hati dan kepalaku dipenuhi Si Kemayu.
Angin dingin senja hari menyusup ketulangku. Mewartakan mendung kelam di langit akan segera memuntahkan hujan. Aku bergegas pulang. Dan menyadari satu hal, aku sendirian. Masih akan sendirian. Entah sampai kapan. Tanpa setangkup mawar yang kuimpikan jadi kawan seperjalanan.
May 11, 2010; 06:32
Still hearing Andy McKee
No comments:
Post a Comment