“Kira-kira siap nggak kalau suatu ketika suamimu poligami?”
Heh? Kepikiran aja enggak. Tapi akhirnya saya jawab juga pertanyaan itu,”Nggak tahu, lha belum pernah ketemu. Tapi semoga tidak, kenapa?”
Bundanya Firda kemudian bercerita, alkisah seorang perempuan yang sebelumnya menjadi istri kedua seorang pria, berubah status saat istri pertamanya meninggal dunia. Mengapa? Karena jika dulu ia jadi madu, kini ganti ia-lah yang dimadu lantaran sang suami menikah lagi.
Suatu ketika, sepulang dari haji, istri kedua si pria menelfon di tengah perjalanan pulang bahwa ia telah menyiapkan sambutan berupa selamatan besar di rumahnya. Si pria pun memutuskan untuk pulang ke rumah istri mudanya, sementara si istri tua ia biarkan pulang sendirian. Tahu apa yang terjadi kemudian? Si Ibu ( istri tua) pulang ke rumah dengan cara sembunyi-sembunyi, tak berani menampakkan kepulangannya saat siang hari.
Ndilalah, suatu hari saya iseng buka-buka Tarjamah Al Qur’an, mencari suatu ayat yang dikatakan Pak'e beberapa waktu lalu, tapi nggak ketemu juga hingga mata saya terantuk pada Surat An Nisa’ 129 yang artinya :
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung, dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Waduh, kok kayaknya mirip sih dengan cerita Bundanya Firda ya, gumam saya sendirian sambil berandai-andai saya menjadi Pak Haji, Bu Haji, dan Si Madu.
Andai saya Pak Haji, meski keputusannya akan menyakiti si Istri Tua, akan sulit rasanya menolak todongan si Madu. Coba bayangkan betapa mubazirnya selamatan besar itu jika Si Bapak tak datang, bisa-bisa perang besar pun tersulut gara-gara itu. Si Madu sendiri saking bahagia dan bangganya karena sang suami telah kembali dari tanah suci, langsung saja mengadakan acara penyambutan tanpa konfirmasi dulu dengan suaminya bagaimana baiknya jika tiba di rumah nanti. Sementara Si Bu Haji, secara positif (terlepas dari rasa malu karena dibiarkan pulang sendiri oleh suami), sesungguhnya ia berusaha untuk menjaga nama sang suami di mata khalayak. Bayangkan saja betapa repotnya bila orang-orang bertanya ,” Dimana Pak Haji?Kok pulang sendiri?”
Tapi apapun itu, soal poligami atau bukan, keadilan itu tidak gampang. Mudah diomongkan tapi sulit direalisasikan. Andai saya Adalah Ibu Haji saya nggak yakin bisa bersabar diri,bisa-bisa Pak Haji jadi DENDENG PAPI, bukannya dendeng sapi lagi. Haaak!! Ciaat! Bet..bet! Dikuliti, dibersihkan, dicampur bumbu, terus dikirim ke tujuan. Beres kan?
Tiba-tiba seekor lalat lewat dan bedengung," Pantas still single fighter,lah wong niatnya dah jelek genee..."
Brupp! Saya sikat lalat itu dengan sigap, dan ia pun terkapar sekarat.
(Hehehehe...yang terakhir cuma imajinasi, mana ada lalat bicara sih?)
Heh? Kepikiran aja enggak. Tapi akhirnya saya jawab juga pertanyaan itu,”Nggak tahu, lha belum pernah ketemu. Tapi semoga tidak, kenapa?”
Bundanya Firda kemudian bercerita, alkisah seorang perempuan yang sebelumnya menjadi istri kedua seorang pria, berubah status saat istri pertamanya meninggal dunia. Mengapa? Karena jika dulu ia jadi madu, kini ganti ia-lah yang dimadu lantaran sang suami menikah lagi.
Suatu ketika, sepulang dari haji, istri kedua si pria menelfon di tengah perjalanan pulang bahwa ia telah menyiapkan sambutan berupa selamatan besar di rumahnya. Si pria pun memutuskan untuk pulang ke rumah istri mudanya, sementara si istri tua ia biarkan pulang sendirian. Tahu apa yang terjadi kemudian? Si Ibu ( istri tua) pulang ke rumah dengan cara sembunyi-sembunyi, tak berani menampakkan kepulangannya saat siang hari.
Ndilalah, suatu hari saya iseng buka-buka Tarjamah Al Qur’an, mencari suatu ayat yang dikatakan Pak'e beberapa waktu lalu, tapi nggak ketemu juga hingga mata saya terantuk pada Surat An Nisa’ 129 yang artinya :
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung, dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Waduh, kok kayaknya mirip sih dengan cerita Bundanya Firda ya, gumam saya sendirian sambil berandai-andai saya menjadi Pak Haji, Bu Haji, dan Si Madu.
Andai saya Pak Haji, meski keputusannya akan menyakiti si Istri Tua, akan sulit rasanya menolak todongan si Madu. Coba bayangkan betapa mubazirnya selamatan besar itu jika Si Bapak tak datang, bisa-bisa perang besar pun tersulut gara-gara itu. Si Madu sendiri saking bahagia dan bangganya karena sang suami telah kembali dari tanah suci, langsung saja mengadakan acara penyambutan tanpa konfirmasi dulu dengan suaminya bagaimana baiknya jika tiba di rumah nanti. Sementara Si Bu Haji, secara positif (terlepas dari rasa malu karena dibiarkan pulang sendiri oleh suami), sesungguhnya ia berusaha untuk menjaga nama sang suami di mata khalayak. Bayangkan saja betapa repotnya bila orang-orang bertanya ,” Dimana Pak Haji?Kok pulang sendiri?”
Tapi apapun itu, soal poligami atau bukan, keadilan itu tidak gampang. Mudah diomongkan tapi sulit direalisasikan. Andai saya Adalah Ibu Haji saya nggak yakin bisa bersabar diri,bisa-bisa Pak Haji jadi DENDENG PAPI, bukannya dendeng sapi lagi. Haaak!! Ciaat! Bet..bet! Dikuliti, dibersihkan, dicampur bumbu, terus dikirim ke tujuan. Beres kan?
Tiba-tiba seekor lalat lewat dan bedengung," Pantas still single fighter,lah wong niatnya dah jelek genee..."
Brupp! Saya sikat lalat itu dengan sigap, dan ia pun terkapar sekarat.
(Hehehehe...yang terakhir cuma imajinasi, mana ada lalat bicara sih?)
No comments:
Post a Comment