Akhirnya semua akan tiba pada hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur malam
Sambil membetulkan letak leher kemejaku
Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih
Lembah mandala wangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika ku dekap kau dekaplah lebih mesra
Lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata ,” dengar detak jantungku.”
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
(taken from cahaya bulan, ost. Gie)
Mendengar puisi itu lewat laptopku mengingatkanku padamu, karena ku tahu kamu suka dengannya (masalahnya kau ingat aku nggak ya?). Dulu aku suka memperhatikanmu, diam-diam kayak maling mau nyolong jemuran.Trus nulis kalimat puitis waktu kudengar suaramu yang menawan (terserah deh orang bilang suaramu serak-serak dangdutan, wong namanya orang jatuh cinta suara jelek bisa terdengar seempuk penyanyi terkenaaal!). Fiuuuh, sayang…ternyata kamu memilih orang lain untuk gandengan, padahal aku yakin akulah kandidat paling mengesankan.
Sudah cantik (kalo dilihat dari New York siih), mandiri (makan minum sendiri hiks), baik hati, tidak sombong, rajin mengaji, rajin menabung apalagi…
Sebenarnya kamu tuh minus berapa kok bisa nggak lihat semua kehebatan itu dimatamu? Kurasa kau harus memeriksakan dirimu ke dokter mata, supaya matamu kembali normal dan tidak salah melihat potensi orang
Haha, kadang-kadang pengen juga aku menyapa-apa kabar, tapi takut dikacangin, karena kau kini semakin berkibar. Makanya aku lebih baik diam dan menyampaikan apa kabar itu lewat doa pada Tuhan. Lebih cepet sampai meski yang didoakan enggak dengar. Oh ya, apa kau tak ingin tahu dimana aku sekarang? Kini aku sedang sendirian, menatap langit pantai Medewi yang kejinggaan sembari menyesap green tea yang katanya minuman menyehatkan sambil membayangkan wajahmu yang jenaka bin ajaib itu.
“ Heh, ayo pulang,” Mbok Komang tiba-tiba menggamitku pelan.
Aku menoleh ke belakang, kulihat senyum manis terbetik di wajahnya yang bersinar.
“ Sunset di Medewi indah sekali ya, Mbok?”
Mbok Komang celangap. “ Nggak salah tuh? Mana ada sunset indah di Medewi sih?” ia geleng-geleng kepala.
Iiih, Mbok Komang nggak romantis. Indah, Mbok, karena wajahnya yang terlihat disana, diantara awan-awan serta langit yang kian menggelap.
“ Kapan balik ke Jawa?”
“ Besok Mbok.”
“ Kok sebentar banget sih di Bali?”
Aku tertawa saja. Sepele, Mbok, karena yang kucari tidak ada. Ia entah sedang dimana. Mungkin di negeri antah berantah yang tak kutahu dimana rimbanya, sibuk dengan dunianya dan rencana pernikahannya.
“ Kamu kapan menikah, si Pitri sudah menikah. Sudah punya anak malah, masa kamu aweet ajah.”
“ Insya Allah dalam waktu dekat…”
“ Ah dengan siapa?” Mbok Komang bersinar-sinar.
“ Avatar Mbok…”
“ Avatar siapa?”
“ Avatar The Legend Of Aang, bentar lagi kan perang dengan negara api usai. Dia janji mau ngelamar gitu,” jawabku asal.
Plok, Mbok Komang menepuk jidatnya kencang-kencang waktu sadar kalau itu tokoh kartun yang suka ditonton anaknya di minggu petang jam enam. Gyahahahaha!
Senja kian menua, dan wajahmu kian memudar saja ketika anak-anak pantai mulai menyenandungkan lagunya reggae,
“ Nyanyi lagu santai, nyanyi lagu pantai
Nyanyi lagu santai, nyanyi lagu pantai…
april 21, 2009: 17:21
Ngawur story, based on the past time sambil dengerin saluang (instrumental minang)
Thanks to Fitri, Maknya Fina-teman baru yang bilang kalo namaku sama dengan nama putrinya kalo dibalik (Fin-A-Fin-A-Fin…), yang bilang juga kalo ceritaku seru, huhu jarang-jarang tuh!
No comments:
Post a Comment