Menjadi lajang di usiamu yang ke-29 tentu saja menimbulkan pertanyaan. Kapan menikah, kapan calonnya akan dikenalkan sudah jadi makanan sehari-hari yang harus ditelan. Apalagi ditambah problema karir mandeg dan melarnya badan, wah lengkap sudah penderitaan. Itu juga yang dialami Tata, sahabatku tercinta via ponsel kemarin lusa. Seharusnya aku sedih mendengarnya tapi gaya berceritanya yang jenaka membuatku tak bisa menghentikan tawa.
“ Ah, elu! Bukannya Bantu malah ketawa, gimana sih, Bu?” ia mendengus kesal. Aku berhenti tertawa. Lalu hanya hening yang kudengar. Dari seberang nafas berat ia hamburkan, seperti tengah mengumpulkan kekuatan.
“ Aku nggak ngerti kenapa hidupku begini, Fin. Aku hanya ingin bahagia, tapi seolah semua tak terjangkau. Sendirian, tak punya pacar, kegemukan, pekerjaan yang nggak berkembang. Kenapa demikian? Sementara orang-orang lain sudah bersiap terbang ke bulan.”
Deg! Mendengar kata Tata barusan aku seolah melihat diriku beberapa waktu sebelumnya. Seorang gadis yang meratap setiap kali menatap bayangannya di kaca. Tiada hari berlalu tanpa mengeluhkan hidungnya yang pesek, rambut yang ikal berantakan, kaki yang mirip anggota kesebelasan, kegemukan, pekerjaan yang apa adanya, serta kisah hidup yang datar-datar saja. Ah! Sebalnya!
Setipa hari, seperti orang bodoh aku membawa harapan aneh dalam tidur malamku. Kau tahu apa itu? Aku berharap agar jika esok tiba, hidung pesekku akan jadi bangir dan kaki pendekku akan memanjang seperti kaki belalang. Pekerjaanku pun tak lagi admin distributor yang jual sabun mandi cap similikithi, tapi sudah menjadi seorang esmud (bukan es kelapa muda, tapi eksekutif muda) perusaan minyak goreng jelantah merk bahagia. Dan punya pacar keren yang pantas tuk dipamerkan di meja makan. Bagaimana? Mantab kan? Ah, tapi seperti umumnya hayalan tak berdasar, semua itu tak pernah jadi kenyataan.
Perasaan rendah diri itu juga yang membuatku enggan pergi kemana-mana. Itu juga yang membuatku malas menghadiri reuni kecil kawan-kawan SMA kalau tidak dibujuk Irma. Tapi apa yang terjadi disana? Fuuh, aku merasa ingin tenggelam saat mereka tanyakan seperti apa kehidupanku sekarang. Apa yang harus kuceritakan? Aku tak tinggal di luar seperti Renee dan Neisya (Renee di DC dan Neisya di Italia). Tak pernah merasakan petualangan di Afrika seperti Kartika atau menara Eiffel di waktu malam seperti seperti Irma. Tidak juga menjadi pengacara sekaligus penulis berbakat seperti Dayu.
“ Aku kerja di Banyuwangi, tinggal dengan orang tua, dan bekerja sebagai admin di salah satu distributor,” akhirnya aku menyahut juga, dengan suara lirih hampir tak terdengar. Oh dan anggukan, itu yang mereka lakukan. Tak ada cemoohan, namun entah mengapa rasa maluku kian dalam. Ketika percakapan bergulir dengan jenaka, semua pun tertawa kecuali aku yang terus menunduk di sudut ruang, sambil memandang penampilan teman-temanku yang terlihat heibat-heeeiibaaat itu! Oh, Tata…Dalam hati aku menyesal kenapa mesti datang segala ke acara reuni yang menyiksa?
Yang lebih menyedihkan ketika kami lanjutkan acara dengan jalan-jalan di mall. Semua pria keren menatap mereka, satu dua menyuitinya, mengajak berkenalan ketika kami asyik ngopi dan minum juice di food court. Sedangkan aku? Sama sekali tak tak ada, walau aku juga bersama mereka Duooh! Pengen balik kanan aja, pulang, lalu ngerem di kamar! Arrggh!
Beruntung dalam kondisi itu seorang sahabat baik mendatangi dan menasehatiku. Kau mau tahu siapa dia? Tak lain dan tak bukan adalah, Bunda. Dengan arif ia berkata ,” Hidung pesek dan kaki kesebelasan yang kau risaukan itu adalah anugerah tak ternilai, Kak. Andaikan kau tak punya salah satunya bagaimana kau akan bernafas dan berlari? Lagipula masih banyak dalam hidup ini yang perlu dirisaukan ketimbang penampilan.”
“ Tapi ini dunia nyata, Bu,” bantahku dalam hati.” Penampilan itu perlu…”
“ Penampilan memang perlu. Tapi tak selalu, “ kata ibu seolah tahu apa yang berkecamuk di kepalaku. “ Kau hanya belum tahu, kekuranganmu justru bisa menjadi kelebihanmu.”
Aku mengangguk, tapi tak sepenuhnya percaya apa yang dikatakannya. Hingga akhirnya kehidupan bergulir dan mengajarkanku banyak hal. Menjadi jelita tak selamanya membahagiakan, Tata. Kau ingat Mbak Merlika, Mbak Kos kita dulu itu? Aku bertemu dengannya beberapa waktu lalu. Kecantikannnya sudah pudar. Body seksi yang dulu dikagumi orang hilang entah kemana, berganti dengan tubuh kerontang, pucat dan jauh dari kesan bahagia. Kudengar perkawinannya dengan suami super kerennya itu bak bencana. Pukulan, tendangan, dan cacian selalu jadi santapan harian. Kabarnya itu dilakukan karena suaminya cemburuan. Mengira Mbak Merlika yang bukan-bukan, bahkan hanya gara-gara kelamaan ngobrol dengan tukang jual tempe di depan rumah. Duuuh! Sial!
Punya pekerjaan mantap dengan gaji tinggi pun ternyata membawa konsekuensi yang tidak sedikit. Kerja, kerja, kerja saja yang jadi prioritasnya. Alhasil, setiap kali pasang status di facebook keluhannya adalah pusing, sakit kepala, pengen muntah, nggak enak badan. Itu yang terjadi pada kawanku, Fana, yang kini bekerja sebagai hakim. Bukan hanya itu perkawinannya pun diambang perceraian, karena ternyata susah menjaga keseimbangan antara anak, suami, dan karier yang sedang melaju pesat.
Perkara kegemukan yang kualami, sampai sekarang pun aku memeranginya. Tidak mudah memang menurunkan berat badan hingga lima kiloan. Apalagi didera rasa malas dan kurang kuatnya kemauan. Tapi aku beruntung ada sahabat yang menyeretku masuk ke sanggar senam. Meyakinkanku bahwa kegemukan takkan bisa dilawan hanya dengan diam.
“ Kenapa termangu? Kau malu karena tak punya baju yang pantas untuk senam? Takut kalau nanti kamu terlihat paling gendut disitu? Ayolah! Buang rasa rendah dirimu!” seru Mbak Haya.
Mataku pun terbuka lebar ketika datang ke sana. Kulihat perempuan-perempuan itu datang dengan masalah yang sama. Tapi bukannya meratap justru mencari solusi untuk memecahkannya.
“ Jangan ikut senam untuk menurunkan berat badan, yang ada kamu akan kecewa. Semua perlu proses dan bukan hasil sulapan. Nikmati saja, perlahan-lahan gerakan senam ini akan membakar lemakmu dan mengencangkan otot-otot di tumbuhmu. Seperti aku,” kata Mbak Fatim. “ Ya tentu saja aku tak bisa sekurus saat remaja, maklum umur sudah diatas tiga puluh dua. Sudah turun mesin sebanyak dua kali pula,” katanya kemudian dengan jenaka, membuatku ikut tertawa.
Dan jangan juga berpikir jika bobot tubuhmu-lah yang menjadi penghalang kau dapat pasangan. Jika kau tak percaya apa kataku, karena aku masih jomblo sepertimu tak apa. Mungkin kau harus bertemu dengan Mbak Ivy atau Te. Mereka juga bukan perempuan bertubuh langsing, tapi mereka berhasil menemukan pria yang mencintai mereka bukan ‘karena kau…” tapi “ meski pun kau…”
Maka nikmati saja, semua ada masanya. Mungkin dengan kesendirian ini sesungguhnya Allah justru menyuruh kita mempersiapkan diri dengan berbagai keterampilan dan pelajarang penting sebagai bekal untuk menghadapi hari-hari dimana kita sudah bukan lagi nona, tapi nyonya. Ketika anak-anak berlarian dan membuat rumah seolah kapal pecah, pekerjaan rumah yang tak habis-habisnya dan suami yang harus dilayani walau tubuh sudah enggan diajak kompromi.
Dan kau tahu apa yang ibuku katakan dulu itu benar. Hidung pesek ini ternyata justru dikatakan lucu oleh temanku, sementara ia menyesali hidung bangirnya yang nampak aneh dan kebesaran. Ada lagi yang menginginkan rambut yang acap kusesali, kawan, agar tak perlu lagi menggunakan curly iron untuk tampilan ikal. Dan kakiku yang seperti kaki kesebelasan itu, Tata Sayang, justru membuatku kuat berjalan. Mampu menopang bobot tubuhku tanpa harus ngos-ngosan sementara nona-nona berkaki belalang mengeluh capai saat kami harus mendaki bukit dalam rangka tamasya kantor beberapa saat lalu.
Lalu bagaimana dengan pekerjaanku? Apakah aku masih sering mengeluhkannya? Well, ya…masih, wong aku ini manusia biasa. Tetapi setiap kali melakukannya aku akan memikirkan perkataan teman-temanku yang jadi tukang parkir, tukang becak, penjahit kodian, atau pedagang sayur di pasar bahwa,
“ Ini hidup kita, disesali pun tiada guna. Ayo qonaah, jangan pasrah!”
Jujur aku jadi malu mendengar itu. Mereka yang tak mengenyam bangku kuliah seperti kita ternyata lebih bijak memandang kehidupan. Diam-diam tawa ringan melesat dari dalam. Hahahaha! Rupanya, selama ini akulah yang membuat hidupku sendiri jadi tidak menyenangkan. Maka yang bisa kukatakan adalah,
“ Jangan pecahkan cerminmu saat kau melihat kesuraman disekelilingmu, tapi gantilah kaca matamu dengan yang baru agar kau bisa melihat segalanya lebih jelas, lebih indah, dan lebih cerah.”
Satu hal yang harus kau sadar tentangmu, Tata. Dibalik semua yang kau risaukan kau punya banyak kebaikan. Kau selalu memulai hari dengan sedekah pagi. Menyapa semua orang dengan riang. Mendengarkan orang-orang yang butuh didengar meski saat kau butuh bantuan mereka tak datang. Kau juga selalu punya gurauan garing yang membuat orang tertawa. Nah, bagaimana? Apa kau masih berpikir kau ini biasa-biasa saja? Tunggu saja, suatu hari seseorang akan mengatakannya!
Only story, inspired by my daily funny story ( I hear, I watch, I write, I love it)
Thanks to :
Vita untuk ‘ nikmati saja semua ada masanya’
Mamanya Nazwa (bener gak nih nulisnya) untuk ‘ jangan ikut senam untuk menguruskan badan’
serta lalu lalang cerita yang menyenangkan
No comments:
Post a Comment