Tanyakan padaku berapa kali aku membenci pria itu. Pria yang dilengannya ada tatonya itu. Pria yang seringkali melarangku melakukan sesuatu, dengan segenap alasan bahwa ia lebih tahu yang mana yang paling baik untukku. Acap aku memberontak dan mementahkan semua ucapnya. Menegakkan kepalaku dan menyemburnya dengan kalimat terkasar yang kupunya. Hingga memantik kemarahannya sedemikian rupa.
Tetapi ia tak pernah berhenti memberiku cinta. Sebesar apapun kesalahan yang kulakukan ia selalu memaafkan. Kau ingin tahu siapa dia? No, no, no…bukan, ia bukan pacarku. Ia ayahku.
Ayah yang selalu bertanya kepadaku mengapa aku tidak makan hari itu. Yang mengajariku memasak saat usiaku belasan tahun. Yang mengajakku main layang-layang juga mengajakku menyusuri sungai untuk menjala ikan. Yang masakannya selalu kami—aku, Wendy, dan Raka rindukan. Yang pendiam, tapi selalu selalu punya cerita lucu untuk kami tertawakan. Yang kadang-kadang nampak sangar, over protective, menyebalkan tapi sangat perhatian pada masing-masing orang. Sangat paham saat kami dilanda kesulitan, tahu hanya dengan membaca wajah. Membantu memecahkannya tanpa kami minta.
Malam itu ketika kami bercanda aku tahu kenapa ayahku sangat protective kepada kami bertiga. Sebab ia pernah melakukannya di masa muda. Tahu betul apa resikonya hingga ia tak mau kami mengalaminya.
Kau tahu apa yang dikatakannya saat aku bertanya kenapa Bapak bertato?
“Dulu, Bapak suka lihat banyak pria bertato. Bagus-bagus tattoo-nya. Bapak dan teman-teman pengen punya. Kami coba-coba dengan peralatan seadanya. Dari semua orang hanya punya Bapak yang jadi,” katanya sambil mempertontonkan tattoo yang—sumpe deh enggak banget. Maunya melukis gadis cantik tapi jadinya amburadul.
“Sudah Bapak ilangin tapi gak bisa. Masih tetap ada bekasnya.”
“Kenapa di lengan Wendy ada gambaran mirip tattoo itu, Pak?”
“Pas ibu mengandungnya Bapak berusaha ngilangin tattoo ini. Nggak nyangka ternyata muncul di lengan adikmu,” lanjut Bapak dengan nada menyesal.
Sejurus kemudian percakapan terhenti. Bapak kecapekan. Sepeninggalnya aku berkata diam-diam ,"Itulah ayahku, tidak setampan Pierce Brosnan. Juga tak punya perusahaan multinasional. Tapi ia selalu punya kecintaan yang besar, untuk kami dengan caranya yang kami sering anggap kuno dan ketinggalan jaman."
No comments:
Post a Comment