Hahahaha…Semua langsung tergelak mendengar ucapan Ustadz Munir kalau cantik dan ganteng itu bedanya hanya dari leher ke atas. Selebihnya baru diperhatikan kemudian. Betapa bangganya kita karena sebuah penampakan (means wajah) banyak yang mengagumi, ya nggak? Bahkan seorang teman yang merasa dirinya super biasa sampai berkata dengan muka masygul pada saya,” Ya kamu beruntung, kamu lebih putih, lebih cantik, aku?!”
Lho? Sejak kapan Afin tergolong cantik dan putih? Kaca…mana kaca? Please deh ah, mumpung ada yang memuji niiih. Dengan semangat saya mengaca, dan blup…saya pikir saya akan mendapati serauh wajah se-aduhai Tamara Blesz, enggak tuh. Teteup wajah biasa yang saya kenali, yang alhamdulillah tidak ruaar biasa (hehehehehe).
Ya, ya saya paham perasaan teman saya itu. Sejak kecil saya dikelilingi teman-teman dekat yang cukup popular karena kecantikan dan kecerdasannya. Wajar jika bersama mereka dirimu tak terlihat atau istilah perdukunannya sih auranya tenggelam. Jadi jika luput dari perhatian walau berjalan berbarengan dengan mereka rasanya juga tak aneh. Bahkan saya sampai berpikir betapa enaknya kalau dilahirkan sudah dalam kondisi cantik, putih dan kutilang (kurus, tinggi, langsing), mengapa begitu? Sebab mereka-mereka yang tergolong punya modal itu malah dapat pekerjaan yang paling diinginkan sementara yang jauuh lebih pintar terseok-seok nggak dapat-dapat kerjaan. Jadi nggak mengherankan kalau saya jadi berandai-andai ada sebuah tongkat ajaib yang terayun dan triing…menyulap si itik buruk rupa menjadi angsa, menyulap sebuah mimpi menjadi nyata seraya berkata,” Oh I wish I was her.”
Tapi mendadak saya jadi miris begitu menyadari betapa berat jika dirimu cantik. Suatu hari dalam sebuah perjalanan saya melihat seorang perempuan cantik yang tak berdaya digoda oleh para preman, dicolek sana-dicolek sini sedangkan si biasa ini (saya euy!) melenggang sempurna di depan mereka. Di hari lain saya menemukan seorang teman yang dulu dihadiahi gelar popular disekolah malah berpenampilan kayak embok-embok. Lho mana si seksi itu, kenapa ia terlihat lebih tua dari usianya? Ah, usut punya usut si cantik terpeleset dan harus menikah di usia yang masih belasan, dan terpaksa merasakan bagaimana pahitnya dunia nyata sementara kami masih sibuk kuliah. Kawan yang lain malah punya kisah ruwet ala sinetron, yang melibatkan haru biru cerita istri kedua, dan jadi bahan gunjingan orang karenanya. Di televisi malah tiap hari wara-wiri gossip tentang artis ini artis itu, jadi simpanan si ini, jadi perusak hubungan si itu. Aduh untung saya bukan artis cantik itu, bisik saya sambil geleng kepala.
“Masih kepengen jadi perempuan cantik itu, Fin,” seolah-olah Ia bertanya demikian lewat rangkaian kejadian itu. Hihihi…masih tapi tidak dengan segala cobaan yang mengikutinya. Akhirnya saya harus mengakui, bahwa saya harus belajar untuk terlalu mudah menarik kesimpulan hanya karena iri melihat kesuksesan kaum saya yang notabene cantik tanpa melihat bagaimana usaha keras di balik pekerjaan hebat yang didapatnya. Mungkin itulah yang membedakan mereka dengan saya. Kata Ustadz kita cuma perlu bersyukur untuk menghindari rasa terpuruk saat kita merasa bukan siapa-siapa, bukan apa-apa. Lha justru inilah yang susah terlaksana. Apalagi seorang Afin, paling bisanya mengeluh dan menggerutu, melupakan banyak keajaiban Allah dalam banyak cerita hidupnya.
No comments:
Post a Comment