Sunday, January 24, 2010

TIGA HARI MENJELANG RAMADHAN


Kepada Yth. Ibu Negara,

Assalamu’alaikum, Ibu. Semoga Allah selalu memberkahi dan melindungi Ibu. Entah kenapa malam ini saya ingin bercerita tentang semua keresahan saya kepada Ibu tercinta.

Sudah beberapa hari ini saya tidak bisa tidur nyenyak, Bu. Diganggu kegelisahan tiap kali menatap penanggalan. Ya, tiga hari lagi ramadhan tiba dan saya tak punya uang. Jangankan untuk belanja selamatan menjelang ramadhan, Bu, untuk makan sehari-hari saja saya kebingungan. Mau hutang ke warung Yu Kismi saya tak berani, sebab masih ada hutang lalu yang belum saya lunasi. Bahkan si kecil demam pun saya tak bisa membelikannya obat. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa sambil mengompresnya dengan air dingin.

“ Pergilah ke Puskesmas, Yu. Gunakan Jamkesmas,” saran Bu Rus, pengurus Posyandu RT kami.

Tapi bagaimana caranya? Saya kan tidak punya. Entah kenapa kok justru orang-orang yang lumayan berada seperti Mbak Sri yang justru bisa menggunakannya. Bukankah program jaminan kesehatan masyarakat ini seharusnya hanya untuk orang-orang miskin seperti saya, Bu?

Belum selesai perkara ini eh si Ardi, anak saya yang duduk di kelas dua STM, berkata kalau ia masih menunggak pembayaran buku-buku sekolah. Aduuh, uang dari mana? Sedangkan Bapaknya sudah tidak melaut lagi selama tiga hari ini, pekerjaan sambilannya sebagai buruh bangunan juga sedang sepi. Ah, Bu, katanya sekolah gratis ada dimana-mana tapi kok masih terasa berat ya di pundak saya?

“ Sekolahnya gratis, lain-lainnya ya ndak! Buku, seragam dan lain sebagainya kan harus biaya sendiri, “ sahut seorang tetangga ketika saya berkeluh kesah tentang itu pada mereka.

“ Karena itu kusuruh Arti berhenti sekolah saja, biar bisa bantu-bantu orang tua. Sekolah tinggi juga nggak jaminan, nyatanya itu si Dirun bisa jadi juragan kapal tanpa sekolah,” sahut yang lainnya.

Deg! Saya miris mendengar ini. Saya dan suami tak ingin pendidikan anak-anak berhenti disini. Kami punya cita-cita tinggi agar anak-anak bisa melebihi kami yang tak tamat SD ini.

Kemoncolen! Kere wae macem-macem (Sok! Miskin saja macam-macam.red)!” komentar seorang tetangga mendengar tekad kami.

Kemoncolen? Bukan, Bu. Bukan begitu. Kami hanya berpikir dengan bekal ilmu dari sekolah nasib mereka bisa berubah. Tidak mewarisi pekerjaan ayahnya sebagai sebagai nelayan yang sekarang sulit dijadikan topangan. Siapa tahu kelak dia jadi Presiden seperti suami Ibu, lalu meluncurkan cara-cara jitu bagaimana cara mengangkat kehidupan nelayan kearah lebih baik sekaligus meretas masalah hilangnya ikan-ikan dari lautan. Kata suami saya hilangnya ikan-ikan itu akibat ulah kapal pukat, Bu. Tanpa ampun mereka tandaskan semua ikan tanpa peduli ukurannya bahkan terumbu karang pun jadi ikut rusak akibat tersangkut jaring mereka. Yang lebih gawat ulah kapal pengebom ikan, sudah merusak terumbu karang tempat kami mencari ikan mereka juga seenaknya saja meninggalkan ikan yang tak masuk dalam buruan terapung-apung mati di lautan. Inilah yang kemudian jadi pikiran suami saya. Seringkali ia termangu di beranda rumah reot kami, sembari menatap langit-langit malam, memikirkan bagaimana ia harus memenuhi kebutuhan sehari-hari jika kondisi seperti ini terus terjadi.

Saya sendiri ikut merasa cemas juga, Bu. Bertanya-tanya dalam hati apakah masa depan kami akan sesuram cahaya lampu minyak penerang rumah kami.

Sabar, Nduk. Gusti Pangeran luwih ngerti apa sing apik kanggomu lan keluargamu (Sabar, Nduk. Gusti Pangeran lebih tahu apa yang terbaik bagimu.red),” ucap Ibu mertua saya sembari membenahi jala, seolah tahu kegelisahan yang saya sembunyikan.

Saya mengangguk dalam, sementara pikiran saya melayang-layang.

“ Assalamu’alaikum,” suara salam itu membuyarkan lamunan. Saya segera bangkit menuju depan. Saya lihat seraut wajah kuyu milik Ardi ketika pintu rumah terkuak lebar.

“ Kok pulang sore lagi, Di? Sudah seminggu ini kau pulang sore terus, apa ada kegiatan di sekolah?”

Ardi menggeleng. “ Ah tidak , Bu.”

“ Lha terus kamu kemana?”

Ardi meringis .” Sudah seminggu ini ikut sekolah diperbaiki. Saya nguli disitu, Bu, supaya bisa melunasi tunggakan buku dan membelikan Tri obat. Maaf, saya memang ndak bilang dulu sama, Ibu,” jawabnya polos.

“ Apa kamu tidak malu, Le, dilihat teman-temanmu?”

“ Ah, tidak, Bu. Malu takkan bisa menyelesaikan masalahku,” katanya sembari tersenyum.

Tangis merebak di mata saya, bangga sekaligus terharu. Terlebih ketika menerima sebotol sirup penurun panas dari tangannya yang kurus.

“ Terima kasih, Le,” sahutku terbata-bata.

Bapaknya langsung berkaca-kaca ketika saya ceritakan semua itu. Sejumput rasa bersalah terlontar dari mulutnya di tengah kebanggaan yang melingkupi dadanya. Katanya ,” Maaf, seumur hidupku belum pernah aku membuatmu dan anak-anak bahagia.”

Aku trenyuh menatapnya. Dalam hati aku berkata ,” Maafkan aku juga, Pak, sering ngomel-ngomel kalau rejeki lagi seret begini. Bahkan dalam kesempitanku aku sering menyuruhmu hengkang ke negeri jiran tanpa peduli bagaimana nasibmu disana nanti. ”

Sejurus kemudian hening menguasai kami. Tak ada yang kami bicarakan selain diam, asyik tenggelam dalam alam pikiran kami masing-masing. Tiba-tiba seseorang mengucap salam, kami segera bangkit melihat siapa yang datang. Ternyata, Dik Kasno . Kedatangannya tak lama, ia hanya mengabarkan kalau besok ada kerjaan. Apalagi kalau tidak jadi buruh bangunan.

Berita singkat itu kontan membuat wajah suami saya berubah menjadi cerah. Senyumnya terkembang ketika ia menatap saya. Alhamdulillah, batin saya bercampur malu. Bukan malu pada suami saya, tapi pada Tuhan, Bu. Sedari tadi saya mengeluh saja, dan ternyata kini ia justru mengirimkan rejeki-Nya.

Ah, tak terasa malam kian larut, Bu. Tuntas sudah segala kisah saya tumpahkan. Maafkan jika ada kata yang kurang berkenan, jujur saya tak punya maksud apa-apa ketika keluh kesah ini saya sampaikan. Hanya sekedar bercerita, seperti layaknya curhat seorang anak kepada ibunya, meski sang Ibu diam saja dan hanya menatapnya tapi perasaan sudah lega. Plong, setelah beban di kepala terlontar kepadanya.

Oh iya, tiga hari lagi ramadhan tiba, saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga Ibu dan Bapak dikaruniai keberkahan. Selalu diberi kesehatan agar tidak mudah tumbang menunaikan kewajiban sebagai pemegang kemudi kapal bernama Indonesia. Juga diberi kejernihan menghadapi badai dan gelombang yang terus menghadang.

Wassalam.

No comments:

Post a Comment