Tuesday, March 30, 2010

SAAT VARICELLA (CACAR AIR) TIBA





Kata teman-teman saya tomboy. Suka dandan asal. Nggak terlalu mentingin mode yang penting nyaman. Celana jeans dan sandal jepit nggak ketinggalan. Tentu saja sekarang tanpa t-shirt atau hem andalan. Maklum gaya berbusana berubah sejak jilbaban. Tapi secuek-cueknya saya tetap saya punya keluhan. Terlebih melihat teman yang kulitnya putih mulus seperti pantat bayi. Wuih, rasanya enggak pe-de aja kalau dekat-dekat orang macam ini.

“ Duh, coba ya aku semulus dan seputih dia…” keluh saya suatu hari


Alhasil keluhan saya langsung dijawab Tuhan dengan munculnya bintik-bintik kemerahan disekujur badan alias cangkrangen atau istilah kerennya Varicella. Waduh! Saya jadi panic melihat kondisi semacam ini. Sudahlah hari raya, waktunya maaf-maafan dan ketemu saudara, kok malah terkapar tak berdaya. Kalau gini mana bisa nggaya? Udah gitu saya jadi susah makan, susah minum, susah tidur selama Mbak Varicella menghampiri saya. Karenanya juga saya tak bisa mandi seenak-enaknya. Paling menyeka tubuh dengan air hangat agar tubuh tetap bersih. Bukan hanya itu tiap malam saya juga harus rela berbedak jagung muda sampai ranjang pada putih-putih semua.

Sebelnya adik-adik saya tuh suka ketawa kalau melihat muka saya. Katanya kasihan tapi merasa lucu juga melihat bibir saya jontor dipenuhi bintik-bintik berair.


“ Tuhan ni gimana sih? Wong minta putih mulus kok malah jadi kayak gini?” gerutu saya sambil mengunyah jenang sumsum dingin, satu-satunya makanan yang bisa masuk tanpa hambatan selama saya sakit.


Setelah dua minggu sakit selesai. Bintik-bintik merah berair tadi kini menghitam. Menghasilkan bekas-bekas yang tak nyaman dalam pandangan. Tak apa jika di bagian-bagian yang tertutupi baju, tapi di wajah? Waduuuh, jadi males aja bawaanya kalau melihat muka coreng-moreng macam gambar di atas itu. Tapi apa boleh buat? Masa iya saya tak keluar rumah gara-gara Mbak Varicella. Lha gimana kerjaan saya? Kegiatan saya lainnya? Ah, masa bodoh! Peduli amat meski nantinya orang-orang menatap aneh saya, pikir saya.


Sehari dua hari, saya benar-benar tak nyaman setiap kali orang menatap saya. Seminggu, dua minggu, tiga minggu…saya mulai terbiasa mengabaikannya. Sebulan, dua bulan, tiga bulan saya tak mempedulikannya.


Lama setelahnya, kira-kira 6 bulan setelah itu, ada teman yang bertanya ,” Kamu apakan wajahmu kok bisa bersih lagi?”


“ Nggak diapa-apain,” kata saya.


“ Masa?”


“ Ya tadinya sih habis sakit makai krim pemutih yang dianjurin Mama (red. Adik ibu) sama sepupu. Pakai sabun apalah yang katanya bisa bantu memutihkan bopeng-bopeng itu. Karena enggak yakin, akhirnya ke dokter kulit. Kesana cuma dua kali dan tiap kali dikasih krim seharga Rp 80.0000,00. Tapi karena ngerasa gak ada hasilnya akhirnya tak cuekin aja. Nggak make apa-apa,” kisah saya padanya.


Selepas bicara dengannya diam-diam saya berpikir. Apa sih yang dimaui Allah dengan kejadian itu? Jangan-jangan Allah hendak mengajarkan pada saya untuk bersyukur. Jangan mengeluh saja tiap kali ada yang berkenan di dada. Cobalah melihat dari sisi lainnya, sisi positif atas semua. Masa sih lupa dengan kata Ustadz Munir kalau ngaji tiap hari itu, agar kita banyak-banyak bersyukur sebab Allah akan menggandakan nikmat kepada siapa yang banyak bersyukur.Bukannya dulu pernah hafalan ayat itu? Repot ya, lah wong hafalan hanya jadi hafalan. Selesai hafalan jadi bantal *ngaku lo, Fin.


“ Apakah kamu sering bersyukur dan menghitung nikmat yang ada padamu?” sebuah tanya menghampiri saya saat sedang membaca satu artikel.

“ Pernahkah?” saya bertanya balik ke diri sendiri.

Jawaban jujurnya : JARANG. Saya merasa biasa-biasa saja saat saya diberi kesehatan, tak kurang suatu apa dan bisa makan dengan tenang. Saya merasa sudah sewajarnya ketika saya diberi rejeki berlebihan. Tapi langsung bereaksi dan mengeluarkan gerutuan ketika kaki dan tangan susah digerakkan akibat nyungsep diatas aspal seperti beberapa waktu lalu. Menyesali kenapa flu datang nggak diundang dan bikin hidung susah bernafas.


Kalau dipikir-pikir lagi. Saya kok mirip banget ya dengan manusia yang digambarkan Rendra dalam puisinya Makna Sebuah Titipan, yang selalu mengganggap semua derita adalah hukuman-Nya. Memperlakukan ia seolah mitra dagang, yang harus memberikan keuntungan karena saya sudah berbisnis dengan benar. Artinya saya sudah beribadah, berdoa dan melakukan semua perintah-Nya (ya itu nurut kamu, lha nurut Allah ya belum tentu, Fin), karena itulah saya pantas mendapatkan kesenangan darinya.


Hwiiik, sok banget kamuh! Emang siapa elu? Kalau saja laba-laba yang numpang bersarang di kamar saya bisa berkata, rasanya itulah yang akan ia katakan kawan…



*Thanks to Anesa untuk kiriman Puisi Rendra-nya

Puisi itu ku-print dan kutempel di pintu almari


No comments:

Post a Comment