Saturday, December 16, 2006

IT WASN'T HAPPY STORY

aku melihatnya menatap gadis itu
dengan tatapan yang kuinginkan
dan aku cuma bisa berkaca-kaca
sesedih itu tanpa bisa membendungnya
tak butuh waktu lama untuk tahu harapan itu sudah buyar


Saya tertawa membaca kalimat sampah dari cerpen saya yang gagal itu. Membacanya kembali mengingatkan saya pada kisah menyedihkan beberapa tahun lalu.Suatu hari, seorang ibu yang datang tak diundang pulang tak diantar, mengadu kepada saya sambil menangis tersedu-sedu ,” Mbak katanya sudah gak enak, makanya dia mau cerai saja. Huhuhuhu….!”
Saya cuma melongo heran, berusaha memahami maksudnya ditengah-tangah pikiran yang masih bau bantal (maklum baru bangun tidur). “Nggak enak? Mbok ya di kasih gula apa garam kan beres,” batin saya. Tapi begitu pikiran saya sudah penuh 100%, saya baru tahu ngeh kalau itu bukan soal masakan. Saya sampai nggak berani menyela saking kagetnya mendengar keluhan si Ibu yang masuk wilayah tujuh belas tahun keatas semua. Walaah piye to iki, lha kok gini? Kalau soal beginian saya ini kan masih hijauuu, masih dilabeli BO alias Bimbingan Ortu, seru saya kencang-kencang dalam hati sembari nyengir kuda.

“Nggak kurang saya nanya apa yang mesti saya perbaiki, tapi dia tetap minta cerai. Jangan-jangan dia mendua ya?” kata si ibu sambil menyeka airmata, sementara saya garuk-garuk kepala. Sejujurnya saya merasa ibu itu salah orang, saya yang nggak tahu apa-apa begini tak mungkin memberinya saran apapun untuk masalahnya tersebut. Tapi jauh dalam hati saya mengerti ia butuh teman untuk bercerita, makanya saya biarkan ia menyelesaikan ceitanya hingga puas.
Huff!! Betapa leganya saat ia pergi, bukan saja karena ia pergi tepat saat Hiv (hasrat ingin Vivis) ini sudah tak tertahankan, tapi juga lega karena saya tak keceplosan bicara apa-apa tentang suaminya.
                                                                                                                                                                             
Selepas itu saya tak tahu lagi gimana kisahnya, karena saya keburu melesat pergi sebelum kapal yang mereka naiki benar benar karam.Tapi yang jelas setelah itu saya jadi lebih mengerti tak ada kisah cinta happily ever after seperti kisah-kisahnya Hans Christian Andersen. Hidup ternyata melukiskan bahwa tak selamanya seorang putri yang telah menemukan pangerannya akan bisa hidup bersama dan bahagia selamanya dalam istana mereka. Satu hal yang patut jadi catatan adalah menempatkan diri untuk tetap netral dan tidak berpihak jika menemui seorang kenalanmu bermasalah seperti itu sangat susah. Apalagi biasanya perempuan cenderung merasa senasib sepenanggungan, ya kan saudari?

Lalu beberapa lama setelah kisah itu berlalu, saya membaca sebuah buku yang menyatakan bahwa “ hubungan suami dan istri yang mesra adalah pilar dalam menjaga keharmonisan dan keutuhan tuamh tangga, meski bukan pilar yang paling utama, tetapi jika pilar itu goyah maka semua akan jadi runyam”. Hah benarkah? Entahlah…hanya orang-orang yang telah mengenyam suka duka berumahtanggalah yang tahu.
Mendadak saya jadi agak sedih, terlebih ketika mendengar Ari Lasso bernyanyi
……………………………………
Saat cinta menyentuh hati
Aku pun tak kuasa untuk menghindari
Meski aku telah berdua
Aku jatuh cinta lagi
Sejenak khilafku lupakan dia yang miliki diriku

Seandainya cinta ini tak pernah terjadi
Takkan ada airmata
Dan hati perih terluka





No comments:

Post a Comment